Setiap manusia memiliki hak nya masing-masing sebagai bawaan dari lahir. Kita berhak untuk bersosialisasi, mengeluarkan pendapat, hidup, bekerja, pendidikan, dan lain sebagainya. Namun apa daya jika ternyata ada orang-orang yang memiliki keterbatasan ataupun ketidakmampuan seseorang untuk menjalankan haknya itu. Dampak keterbatasan yang akan saya coba bahas disini adalah pada pendidikan.
Banyak anak-anak yang mengalami keterbatasan menghadapi beberapa kesulitan dalam proses pendidikannya. Ada anak yang tuli, buta, retardasi mental, dan lain sebagainya sering sekali mengalami hambatan untuk mengenyam pendidikan. Namun semakin lama, orang-orang semakin menyadari pentingnya pendidikan untuk mereka (pendidikan anak berkebutuhan khusus) karena banyak dari mereka yang memiliki potensi luar biasa untuk dikembangkan dan sangat disayangkan bila dibiarkan begitu saja.
Mainstreaming, integrasi dan inklusi merupakan penjabaran situasi dimana anak berkelainan/dengan kecacatan diperbolehkan belajar bersama dengan teman sebayanya tanpa kecacatan dengan anggapan mereka dapat menyesuaikan kepada sistem maintream dan peraturannya (mainstreaming/integrasi). Hanya ‘inklusi’ mencerminkan hak asasi manusia dan isu keadilan sosial dari pendidikan eksklusif mungkin akibat kebijakan dan praktek yang kaku dalam sistem pendidikan mainstream.
Mainstream adalah sistem pendidikan yang menempatkan anak-anak cacat di sekolah-sekolah umum, hanya jika mereka dapat mengikuti kurikulum akademis yang berlaku, dan guru juga tidak harus melakukan adaptasi kurikulum. Mainstream kebanyakan diselenggarakan untuk anak-anak yang sakit yang tidak berdampak pada kemampuan kognitif, seperti epilepsi, asma dan anak-anak dengan kecacatan sensori (dengan fasilitas peralatan, seperti alat bantu dengar dan buku-buku Braille) dan juga mereka yang memiliki tunadaksa.
Integrasi berarti menempatkan siswa yang berkelainan dalam kelas dengan teman-teman sebaya mereka yang tidak memiliki kecacatan. Sering terjadi di sekolah integrasi dimana anak-anak hanya mengikuti pelajaran-pelajaran yang dapat mereka ikuti dari gurunya, dan untuk kebanyakan mata pelajaran akademis, anak-anak ini menerima pelajaran pengganti di kelas berbeda, terpisah dari teman mereka. Penempatan terintegrasi tidak sama dengan integrasi pengajaran dan integrasi sosial, karena ini sangat tergantung pada dukungan yang diberikan sekolah (dan dalam komunitas yang lebih luas).
Inklusi adalah sebuah filosofi pendidikan dan sosial. Mereka yang percaya inklusi meyakini bahwa semua orang adalah bagian yang berharga dalam kebersamaan masyarakat, apapun perbedaan mereka. Dalam pendidikan ini berarti bahwa semua anak, terlepas dari kemampuan maupun ketidak mampuan mereka, latar belakang sosial-ekonomi, suku, latar belakang budaya atau bahasa, agama atau jender, menyatu dalam komunitas sekolah yang sama.
Filosofi Inklusi adalah mengenai; kepemilikan, keikutsertaan dalam komunitas sekolah dan keinginan untuk dihargai. Lawan katanya adalah eksklusi yang berarti penolakan, keterbatasan dan ketidakberdayaan dan sering mengarah kepada frustasi dan kebencian. Inklusi dan Pendidikan Inklusif tidak mempermasalahkan apakah anak dapat mengikuti program pendidikan, namun melihat pada guru dan sekolah agar dapat mengadaptasi program pendidikan bagi kebutuhan individu.
Santrock, John W. (2004). Psikologi Pendidikan Edisi Kedua. Kencana:Jakarta
1 komentar:
postingan yang bagus, punya sumber lainnya ga mengenai sekolah inklusi ?
Posting Komentar