I made this widget at MyFlashFetish.com.

Minggu, 20 Februari 2011

Hukuman Fisik-Masih Zaman nggak sih?

Masih sering kita lihat di berita TV, koran, ataupun media lainnya mengenai guru yang menghukum muridnya dengan kontak fisik. Ada yang memukul, menendang, menampar, dan lain sebagainya. Apakah sebenarnya dengan hal itu murid akan jera terhadap perbuatannya yang membuat guru menghukum secara fisik? Jawabannya memang “ya” tapi adakah respon lain dari murid tersebut? Tentu saja ada. Dia mungkin akan malas pergi ke sekolah dan ujung-ujungnya adalah trauma. Bisa juga murid tersebut akan dendam pada gurunya dan akan melakukan hal yang lebih buruk pada gurunya tersebut. Apakah ini yang diinginkan guru? Padahal dia hanya ingin memperbaiki perbuatan si anak. Pemberian hukuman pada murid memang baik agar murid mendapatkan efek jera dari perbuatan buruk yang dilakukanya. Namun sebelum memberikan hukuman guru juga harus mempertimbangkan bagaimana efeknya ke depan pada si murid. Jujur saja hukuman fisis itu sangat “era Penjajahan”.
                Pemberian hukuman adalah salah satu bagian dari belajar operan (operant conditioning), yaitu sebentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan dikurangi.
                Ada beberapa cara agar hukuman dapat efektif tanpa menimbulkan efek negative setelah pemberlakuannya.
                Tipe paling umum dari hukuman adalah guru menggunakan teguran verbal. Ini lebih efektif apabila guru dekat dengan murid, tidak dipisahkan oleh ruang, dan apabila diiringi dengan teguran nonverbal seperti muka merengut atau kontak mata (Van Houten, dkk., 1982). Teguran lebih efektif jika dilakukan segera setelh perilaku buruk terjadi ketimbang dilakukan belakangan, dan jika dilakukan dengan langsung dan cepat. Teguran ini tidak selalu berupa bentakan dan omelan, yang justru malah menambah kebisingan kelas dan membuat guru menjadi contoh buruk bagi murid. Cukup katakana dengan tegas “jangan lakukan itu” dan diiringi dengan kontak mata. Ini biasanya sudah cukup untuk menghentikan perilaku yang tidak diharapkan itu. Strategi lainnya adalah memanggil murid lalu ditegur dalam ruang tersendiri, bukan di depan kelas.

Psikologi Pendidikan dengan Upin & Ipin


“Betul, betul, betul…”
                Ayo, itu kata-kata yang biasa kita dengar kalau lagi nonton serial kartun apa? Yup, siapa yang tidak tahu Upin dan Ipin, karakter yang menjadi idola anak-anak sekarang. Bahkan bukan Cuma anak-anak saja. Hampir semua umur menyukai karakter kembar yang berasal dari negeri jiran ini.
                Sebagaimana anak-anak kecil normal lainnya, mereka suka bermain dengan teman teman mereka, seperti Ehsan, Fizi, Mail, Mei-Mei, Jarjit, Rajoo, dan karakter baru dari Indonesia Susan yang biasanya kita akan menemui kesemuanya di sekolah mereka Tadika Mesra. Keseharian si kembar tidak jauh dari anak-anak ini. Begitu juga dengan keluarganya, Kak Ros, Opah dan tetangganya seorang lansia tapi tetap enerjik, Tok Dalang Ranggi. Berlatar di Kampung Durian Runtuh mereka menghabiskan waktunya.
                Setelah meluncurkan beberapa serialnya, pihak Les Copaque sebagai perusahaan pembuatan animasi Upin dan Ipin membuat terobosan barunya dalam bentuk film berdurasi 90 menit berjudul “Upin dan Ipin Geng: Pengembaran Bermula”.
                Film ini masih tidak jauh dari serialnya yang mengedepankan Upin dan Ipin sebagai pemeran utamanya. Masih berlatarkan Kampung Durian Runtuh, film ini menceritakan tentang Misteri Hantu Durian yang membuat geger masyrakatnya sampai-sampai ada satu acara berita yang khusus menanyangkannya di TV plus interview dengan Tok Dalang Ranggi. Si kembar yang masih polos tetap saja pergi ke kebun durian yang niat awalnya ingin mengambil durian malah terjebak di hutan dan akhirnya menemukan si Opet, anak monster yang biasa makan buah mirip durian. Dialah yang sebenarnya mencuri buah durian dari kebun Tok Dalang. Bersama Rajoo, Kak Ros, Badrol dan Lim pengalaman mereka terus berlanjut ketika memecahkan misteri baru mengenai monster “palsu” yang sering berkeliaran disana yang sebenarnya adalah pemburu illegal, Pak Mail, Paman Singh, dan Sally. Sepanjang perjalanannya mereka juga harus menghadapi monster sungguhan, ular raksasa, lintah raksasa, dan lain-lain.
                Ternyata pembuatnanya membutuhkan waktu 3 tahun hanya untuk film berdurasi 90 menit. Bayangkan saja. Kalau dilihat-lihat dari proses pembuatannya tentu berhubungan dengan psikologi pendidikan. Animasi yang cukup menyita perhatian ini sangat mengandalkan teknologi dalam pembuatannya. Bahkan setelah memakai teknologi pun masih saja lama. Untuk membuat satu karakter saja dibutuhkan waktu sekitar satu hari. Psikologi pendidikan lain yang saya dapatkan terlepas dari diversitas sosiokultural film ini adalah mengenai para pekerjanya. Terutama mengenai pengorganisasian kerja yang dilakukan. Motivasi, pengelolaan, perencanaan, dan instruksi.
                Dari filmnya sendiri, psikologi pendidikan yang saya dapatkan adalah diversitas sosiolutural. Dari film tersebut dapat kita lihat bagaimana Upin dan Ipin dari suku Melayu asli Malaysia dapat bergabung dengan Rajoo dari suku India. Tapi sebenarnya orang-orang yang bekerja di balik layarnya juga begini loh. :)

Selasa, 15 Februari 2011

Penggunaan Email Dan Blog

Reza Indah Pribadi (10-014)
Annisa Hazrina (10-030)
Agita Sara (10-114)



Internet sebagai salah satu mediator pembelajaran saat ini sedang dikembangkan dimana-mana. Salah satunya di kampus kita tercinta , Fakultas Psikologi USU. Kini internet bagaikan jembatan penghubung antara dosen dengan mahasiswa dalam hal pembelajaran dan pemberian tugas. Dapat kita lihat tentunya dari kewajiban mahasiswa angkatan 2010/2011 untuk membuat satu mail dan blog khusus untuk keperluan kuliah.
E-mail sebagai salah satu penunjang komunikasi sangat baik disosialisasikan ditengah kehidupan mahasiswa. Dengan tugas yang sangat banyak seperti paper dan makalah, adanya emai sungguh membantu kami untuk meringankan tugas yang diberikan oleh dosen. Sekarang, kami tidak lagi harus selalu mencari warnet atau bahkan memeli printer baru untuk mem-print out kan tugas yang kadang dalam sehari saja bisa sampai berpuluh lembar. Adanya email membuat kami praktis bekerja dirumah dengan cukup megirimkan file yang sudah di attach ke email dosen. Ini juga berprinsip pada paperless yang membantu pengurangan tingkat global warming di dunia. Lumayan kan ? kalau satu mahasiswa biasanya ngeprint sampai 10 lembar saja sehari , satu angkatan ada 126 orang , maka sudah 1260 kertas yang kita keluarkan per harinya. Belum lagi angkatan yang lain. Tak terbayang banyaknya.
Selain itu , dengan email kami juga lebih praktis mendapatkan bahan kuliah berupa slide dari dosen maupun dari senior. Sehingga data yang kami kumpulkan cukup banyak untuk referensi pembelajaran . Kesemuanya di save di dalam computer sehingga pada saat kami mencarinya untuk belajar ataupun referensi tugas akan jauh lebih gampang disbanding mencarinya di tumpukan kertas-kertas . Karena semua disave di computer, tata rauang kamar kami juga pastinya sedikit lebih rapid an luas karena nggak ada tumpukan-tumpukan kertas bahan kuliah di pojokan kamar .
Tuh , banyak sekali kan keuntungannya ? Belum lagi kita bahas mengenai blog. Blog juga diwajibkan untuk angkatan 2010/2011 loh . Nah kalau blog ini lebih asyik lagi, banyak sekali positive side dari adanya blog sebagai media pembelajaran.
Blog yang kami miliki harus kami share ke teman-teman satu angkatan yang terutama ( silahkan kalau mau share dengan senior  ). Hal ini juga dimaksudkan agar kami bisa saling berbagi ide atau gagaan pikir dengan teman yang lain. Blog juga mengajarkan kita untuk aktif , ekspresif dan kreatif ( kata kata siapa yaaa ?  ) . AKTIF maksudnya kita bisa lebih banyak menyampaikan pendapat ataupun ide kita mengenai suatu permasalahan , baik bahan kuliah ataupun info update disekitar kita. EKSPRESIF berarti kita lebih mampu show-off sama yang lain kalo memang selama ini kita dikenal agak malau mengungkapkan pendapat di kelas sehari-hari. Tapi melalui blog, teman-teman pada tau apa yang tadinya mau kita sampaikan di kelas. Nah , kalo KREATIF itu bisa banyak ya maksudnya. Mulai dari cara kita mendesain blog , membubuhkan aksesori, cara kita menuliskan blog dan lain-lain yang tentunya mengasah tingkat kreativitas kita. Sebenarnya masih banyak lagi yang bisa di jelaskan dari ketiga poin tersebut . Tapi ntar blognya kepanjangan yak ? bosen deeh bacanya -__-
Nah , intinya penggunaan blog dan email untuk mahasiswa Psikologi 2010/2011 itu gak ada ruginya deh. Selain efektivitas waktu terjaga, efisiensi biaya juga menjadi dampak positi dari penggunaan blog dan email ini . Bagus dan sangat dianjurkan untuk terus dilanjutkan untuk adik-adik kami kedepan 

Mastery Learning - Sudah Efektifkah dalam kelas?

Semakin hari semakin banyak teknologi dan metode pembelajaran yang diterapkan oleh guru pada murid-muridnya karena anak-anak juga semakin berkembang pengetahuannya seiring waktu berlalu. Salah satu perencanaan yang dilakukan oleh guru pada para muridnya adalah instruksi langsung. Instruksi langsung (direct instruction) adalah pendekatan teacher-centered yeng terstruktur yang dicirikan oleh arahan dan control guru, ekspektasi guru yang tinggi atas kemajuan murid, maksimalisasi waktu yang dihabiskan murid untuk tugas-tugas akademik, dan usaha oleh guru untuk meminimalkan pengaruh negative terhadap murid (Joyce & Weil, 1996). Strategi instruksional teacher-centered yang ingin saya bahas adalah mastery learning.
Mastery larning adalah pembelajaran satu konsep atau topic secara menyeluruh sebelum pindah ke topic yang lebih sulit. Apakah mastery learning ini benar-benar bisa diterapkan secara efisien?
Pendidikan khususnya di Indonesia rata-rata sudah mengelompokkan siswa berdasarkan dengan kemampuannya masing-masing. Murid pintar bersama sesamanya, begitu juga yang lainnya. Namun kita tahu di kelas pintar pun ada yang namanya terbodoh di antara yang terpintar. Jadi bagaimana system mastery learning menyelesaikan tugasnya dengan baik jika memang system ini yang diterapkan oleh gurunya? Yang biasa diterapkan adalah 2x45 menit pertemuan per minggu. Apakah itu cukup mengingat tidak semua murid-murid itu bisa lulus dalam satu topic dalam waktu yang telah direncanakan?
Hasil dari mastery learning tegantung dari keahlian guru dalam merencanakan dan melaksanakan strateginya. Salah satu konteks dimana mastery learning bisa bermanfaat adalah dalam pelajaran remedial reading (Schunk, 2000).
Mengingat ada standar yang digunakan ketika ujian untuk evaluasi penguasaan murid terhadap suatu topic, berarti setiap murid harus lulus sebagai bukti penguasaanya terhadap topic itu untuk dapat melanjut ke topic berikutnya. Bagaimana kalau ada yang tidak lulus? Jawaban sederhana: Remedial. Kalau terus-terusan tidak lulus dan remedial, bagaimana? Masih ada banyak murid lain yang ingin melanjutkan ke topic berikut. Tidak mungkin menunggu-nunggu yang tidak pasti. Beberapa periset menunjukkan bahwa mastery learning yang efektif seharusnya dapat meningkatkan waktu yang dihabiskan murid untuk mempelajari suatu tugas (Kulik, Kulik, & Bangert-Drowns, 1990). Kalau terjadi masalah di atas bukannya mempersingkat waktu tapi malah memperlambat dan yang menjadi korbannya adalah murid lain yang sudah lulus terlebih dahulu. Jadi ada baiknya setiap guru hanya membolehkan 1 kali remedial setiap kali gagal. Pada kegagalan selanjutnya mereka dinyatakan gagal.
Pendekatan pembelajaran penguasaan materi yang baik harus mengikuti prosedur sebagai berikut (Bloom, 1971; Carol, 1963):
• Menyebutkan tugas atau pelajaran. Kembangkan sasaran instruksional yang tepat. Buat standar penguasaan (misalnya standar murid kategori “A”.
• Bagilah pelajaran menjadi unit-unit pembelajaran yang berhubungan dengan sasaran instruksional.
• Rancanglah prosedur instruksional dengan memasukkan umpan balik korektif ke murid jika mereka gagal menguasai materi pada level yang dapat diterima, misalnya 90% benar. Umpan balik korektif bisa diberikan melalui materi pelengkap, tutoring, atau instruksi kelompok kecil.
• Beri tes pada akhir unit pelajaran dan akhir pelajaran untuk mengevaluasi apakah murid sudah menguasai semua materi pada level yang dapat diterima.

Selasa, 08 Februari 2011

Internet-WiFi Di Sekolah, Bukannya Semakin "Bebas"??


Di era modern sekarang ini, pendidikan tidak dapat dipisahkan dari teknologi. Murid-murid dewasa ini tumbuh di dunia yang jauh berbeda dengan di mana ketika orang tua dan kakek mereka masih menjadi murid. Jika murid ingin siap kerja, teknologi harus menjadi bagian integral dari sekolah dan pelajaran di kelas (Earle, 2002; Geisert & futrell, 2000; Sharp 2002).
                Namun salah satu teknologi yang paling penting untuk pendidikan saat ini adalah internet. Internet adalah inti dari komunikasi melalui computer. World Wide Web (www) adalah system pengambilan informasi hypermedia yang menghubungkan berbagai materi internet. Website adalah lokasi individu atau organisasi di internet (Santrock, 2004). Dengan internet kita dapat mengakses dunia luar dengan sangat mudah. Biasanya anak-anak dari kelas menengah ke atas sudah punya computer di rumah lengkap dengan sambungan internetnya.
                Tapi bagaimana jaringan internet di sekolah dan khususnya yang ingin saya tekankan adalah jaringan nirkabel (wireless) atau yang biasa disebut WiFi. Bukankah dengan jaringan internet nirkabel ini para murid akan semakin mudah dalam mengakses apa saja? Kalau “apa saja” ini dalam tanda kutip berarti positif malah sangat bagus. Tapi kalau negative??
                Walaupun di sekolah ada guru, tapi guru itu tidak selalu berada di samping murid untuk membimbing bukan? Sebagai perumpamaan di sekolah ada 7 jam pelajaran efektif dengan 2x15 menit jam istirahat. Memang pada jam pelajaran anak dapat dikontrol. Bagaimana ketika jam istirahat itu? Guru juga butuh jam istirahat bukan. Jadi bagaimana mengawasi anak-anak ini? Apakah dengan membuat peraturan tidak boleh membawa laptop atau handphone? Itu sangat tidak mungkin. Kedua gadget itu sangat penting untuk anak khususnya ketika berada di sekolah.
                Cara yang dapat dilakukan salah satunya adalah bimbingan dari orangtua maupun gurunya. Berikan kepercayaan pada anak. Biasanya semakin dikekang anak akan semakin ingin tahu dan coba-coba. Kemudian ajarkan ajaran agama yang memadai pada anak begitu juga dengan hal-hal positif lainnya. Ketika anak memiliki jadwal yang penuh dengan kegiatan positif seperti les, ekskul, organisasi, dan lain sebagainya. Sehingga anak tidak memiliki kesempatan untuk akses yang “bukan-bukan”.
                Ketahui juga dengan siapa anak berteman. Anak memang boleh berteman dengan siapa saja. Namun beri juga nasehat-nasehat penting pada anak ketika bersama teman dan berada di luar pengawasan. Terkadang memang bukan si anak yang ingin mengakses yang tidak baik, namun karena pengaruh teman dia bisa saja ikut-ikutan.
Santrock, John W., (2004). Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua. Jakarta: Prenada

Selasa, 01 Februari 2011

Anak Bawang/Murid Kesayangan - Salah Gurunya??


Siapa yang tidak tahu istilah “murid kesayangan atau anak bawang”? Mungkin pun Anda pernah merasakannya ketika masa-masa sekolah. Anak bawang ini biasa diidentikkan dengan siswa yang sering diagung-agungkan guru, bahkan ketika salah pun masih saja tetap dibela.
                Apa penyebab utama adanya fenomena si Anak Bawang ini? Biasanya terjadi karena si anak adalah siswa berprestasi walaupun sebenarnya tidak semuanya bermotif seperti ini.
                Namun yang ingin saya bahas disini bukan mengenai si Anak Bawang tetapi guru yang bersangkutan. Sebagai seorang guru sudah seharusnya dapat membagi perhatian pada anak didiknya secara merata. Menurut John W. Santrock (2004) dalam bukunya Educational Psychology menyatakan bahwa guru seharusnya memiliki cara mengajar yang efektif, yaitu:
1.       Pengetahuan dan Keahlian Profesional
·         Penguasaan Materi Pelajaran
·         Strategi Pengajaran
·         Penetapan Tujuan dan Keahlian Perencanaan Instruksional
·         Keahlian Manajemen Kelas
·         Keahlian Motivasional
·         Keahlian Komunikasi
·         Keahlian Teknologi

2.       Komitmen dan Motivasi
                Nyatanya dalam kehidupan sehari-hari banyak guru umumnya di Indonesia memiliki seorang murid kesayangan di tiap kelas yang dimasukinya. Apakah dapat kita simpulkan mereka guru yang buruk? Yang suka “pilih kasih”?
                Jika kita lihat dari beberapa kriteria di atas, apa yang tidak dimiliki guru tersebut? Jawabannya ada di atas atau memang sifat bawaan si guru yang suka pilih kasih?
                Sebagai seorang guru yang hanya seorang manusia biasa tentu menyukai murid-murid yang pintar dan aktif di kelas, berperilaku baik dan memiliki integritas yang baik dalam kelasnya. Tapi bagaimana dengan murid lain yang biasanya nakal dan “lamban” dalam mengikuti proses belajar? Guru tidak boleh lupa akan tujuan utama pekerjaan yang diembannya sebagai tenaga pengajar. Anak disekolahkan karena memang tidak tahu, sehingga butuh pengajaran. Sudah sepatutnya guru dapat membuat murid-murid senang belajar, memotivasi dengan advice yang membangun, pandai-pandai membangun suasana yang baik dalam belajar singkatnya guru perlu memiliki criteria-kriteria yang tela disebutkan Santrock.
                Memang sudah banyak sekolah dengan system kelas unggulan/plus dan akselerasi  dicanangkan untuk mengelompokkan murid di kelas yang seharusnya dia berada untuk mengatasi fenomena ini. Tapi “Masih ada langit di atas langit”. Masih ada juara 1 di antara orang-orang terpilih dalam kelas terbaik itu bukan? Jadi, sekalipun sudah begitu sebaiknya guru tetap memperhatikan murid-murid lain.
                Masih dalam buku Santrock, ada beberapa citra guru yang biasa disukai murid, yaitu:
*      Punya selera humor
*      Membuat kelas menjadi menarik
*      Menguasai mata pelajaran
*      Menerangkan secara jelas
*      Mau meluangkan waktu untuk membantu murid
*      BERSIKAP ADIL KEPADA MURID
*      Memperlakukan murid seperti orang dewasa
*      Berhubungan baik dengan murid, dan
*      TIDAK PILIH KASIH

Juara Kelas- Cemas atau Bangga?

Apakah Anda merasa menjadi seorang juara kelas merupakan suatu prestasi yang sangat membanggakan atau malah sebaliknya, mencemaskan?
                Ketika saya masih duduk di bangku sekolah banyak teman saya para juara kelas sering saya dapati cemas akan gelar yang dimilikinya, terlebih-lebih kalau dia sudah menjadi juara kelas sejak awal masuk sekolah.
                Apa yang mereka cemaskan?
                Setiap juara kelas biasanya akan terobsesi akan gelarnya. Terus dihantui pertanyaan “Bagaimana jika guru menanyakan sesuatu padaku tapi aku tak tahu apa jawabannya?” atau “Ya Tuhan, bagaimana kalau ranking-ku turun semester depan?”. Sangat mudah ditebak—walaupun ada beberapa yang tidak seheboh dan setragis itu. Mereka juga biasanya lebih sering “dipantau” dan “diagung-agungkan” di sekolah yang sebenarnya hal itu menambah anxiety mereka.
                Dalam kasus ini Kecemasan dan Prestasi saling berhubungan. Tapi pernahkah kita berpikir hal itu merupakan suatu MOTIVASI besar dalam belajar. Mari kita bahas solusi dari contoh pertanyaan yang saya paparkan sebelumnya. Dan jawabannya adalah: “Ya, aku harus belajar dengan sungguh-sungguh agar aku tetap jadi juara”. Kelihatannya mudah namun pelik.
                Menurut John W. Santrock dalam bukunya Educational Psychology (2004), motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku. Ada 2 macam motivasi.
1.       Motivasi Ekstrinsik adalah melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain (cara untuk mencapai tujuan). Motivasi ekstrinsik sering dipengaruhi oleh insentif eksternal seperti imbalan dan hukuman. Misalnya, murid mungkin belajar keras menghadapi ujian untuk mendapatkan nilai yang baik.
2.       Motivasi Intrinsik adalah motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri (tujuan itu sendiri). Misalnya, murid mungkin belajar menhadapi ujian karena dia senang pada mata pelajaran yang diujikan itu.
Jika kita hubungkan ke “fenomena juara kelas”  jelas motivasi ekstrinsiklah yang paling mendominasi akibat kecemasan mereka. Sang juara kelas akan terus belajar dengan sungguh-sungguh agar mendapat nilai baik yang berimbas pada ranking mereka. Bisa dibilang kecemasan mereka lebih tertuju pada HARGA DIRI.
                Tidak selamanya memang sang juara kelas berpikir seperti itu. Ada beberapa juara kelas yang merasa dia menjadi juara hanya karena sekedar luck atau takdir, sehingga dia tidak terlalu memikirkan bagaimana rankingnya ke depan. Dia selalu berprinsip “kulakukan apa yang bisa kulakukan, hasilnya tidak terlalu masalah”. Juara yang seperti ini tentunya tidak pernah dihantui rasa cemas. Menjalani pendidikannya apa adanya tanpa pertanyaan-pertanyaan di atas sebelumnya.