I made this widget at MyFlashFetish.com.

Selasa, 15 Maret 2011

Faktor Apa Saja yang Mempengaruhi Inteligensi?

Intelegensi adalah keahlian memecahkan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi pada, dan belajar dari, pengalaman hidup sehari-hari.

Hingga sekarang sudah banyak beberapa kajian dalam hal intelegensi atau tingkat IQ seseorang. Menurut Kohstan, intelegensi dapat dikembangkan, namun hanya sebatas segi kualitasnya, yaitu pengembangan akan terjadi sampai pola pada batas kemampuan saja, terbatas pada segi peningkatan mutu intelegensi, dan cara cara berpikir secara metodis.

Intelegensi orang satu dengan yang lain cenderng berbeda-beda. Hal ini karena beberapa faktor yang mempengaruhinya. Adapun faktor yang mempengaruhi intelegensi antara lain sebagai berikut:

Faktor Bawaan

Dimana faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir. Batas kesanggupan atau kecakapan seseorang dalam memecahkan masalah, antara lain ditentukan oleh faktor bawaan. Oleh karena itu, di dalam satu kelas dapat dijumpai anak yang bodoh, agak pintar. Dan pintar sekali, meskipun mereka menerima pelajaran dan pelatihan yang sama.

Faktor Minat dan Pembawaan yang Khas

Dimana minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan atau motif yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar,sehingga apa yang diminati oleh manusia dapat memberikan dorongan untuk berbuat lebih giat dan lebih baik.

Faktor Pembentukan

Dimana pembentukan adalah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelegensi. Di sini dapat dibedakan antara pembentukan yang direncanakan, seperti dilakukan di sekolah atau pembentukan yang tidak direncanakan, misalnya pengaruh alam sekitarnya.

Faktor Kematangan

Dimana tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Setiap organ manusia baik fisik mauapun psikis, dapat dikatakan telah matang, jika ia telah tumbuh atau berkembang hingga mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing.
Oleh karena itu, tidak diherankan bila anak anak belum mampu mengerjakan atau memecahkan soal soal matematika di kelas empat sekolah dasar, karena soal soal itu masih terlampau sukar bagi anak. Organ tubuhnya dan fungsi jiwanya masih belum matang untuk menyelesaikan soal tersebut dan kematangan berhubungan erat dengan faktor umur.

Faktor Kebebasan

Hal ini berarti manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Di samping kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah yang sesuai dengan kebutuhannya.
Kelima faktor diatas saling mempengaruhi dan saling terkait satu dengan yang lainnya. Jadi, untuk menentukan kecerdasan seseorang, tidak dapat hanya berpedoman atau berpatokan kepada salah satu faktor saja.

Daftar pustaka

Santrock, John W. 2010. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Prenada

Jaali, H. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Selasa, 08 Maret 2011

Apa Itu Pendidikan Bilingual dan Bagaimana Proses Belajar Mengajar di Kelas Bilingual?

            Bahasa adalah bentuk komunikasi, entah itu lisan, tertulis atau tanda yang didasarkan pada system symbol. Sekarang ini sedang marak-maraknya sekolah di Indonesia yang memberlakukan system pendidikan bilingual di kelas. Tapia pa sebenarnya kelas bilingual itu dan bagaimana pelaksanaannya?
Kelas bilingual
Untuk mencapai tujuan SBI beberapa mata pelajaran seperti Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, dan Ekonomi harus diselenggarakan dalam bahasa Inggris dalam sistem pembelajaran kelas bilingual. Menurut Dharma (2007) penyelenggaraan kelas bilingual   melalui beberapa tahap; pada tahun pertama memakai bahasa pengantar bahasa Inggris sebanyak 25 persen dan 75 persen bahasa Indonesia. Pada tahun kedua bahasa pengantarnya masing-masing 50 persen untuk Inggris dan 50 persen bahasa Indonesia. Pada tahun ketiga bahasa pengantar menggunakan 75 persen bahasa Inggris dan 25 persen bahasa Indonesia. Model kelas bilingual yang berjenjang ini, menurut Lee (2008: 85) disebut sebagai biligual transitional education karena siswa tidak langsung diajar dengan menggunakan bahasa Inggris secara penuh tetapi bertahap, porsi bahasa Inggris makin lama makin besar dan porsi bahasa siswa makin lama makin kecil. Model ini mengasumsikan pengetahuan dan ketrampilan guru dalam mengajar dengan bahasa Inggris sudah mencapai tingkat lanjut sehingga dapat menentukan proporsi bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dalam mengajar.
Untuk dapat melaksanakan konsep kelas bilingual ini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain: (a) Substansi pelajaran harus cocok dengan tingkat perkembangan kognitif dan kemampuan bahasa Inggris siswa, (b) sekolah harus dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif untuk mendorong pemakaian bahasa yang bermakna baik tulis maupun lisan, (c) pembelajaran harus menekankan latihan pemecahan masalah dan siswa didorong untuk bekerjasama melalui tema-tema yang menarik dan menantang.
Sekolah-sekolah yang sudah atau sedang menyiapkan program kelas bilingual menghadapi masalah yang cukup serius, antara lain belum tersedianya buku ajar dalam bahasa Inggris yang cocok dengan kebutuhan sekolah, belum tersedianya silabus dalam bahasa Inggris,  belum siapnya guru mengajar dengan pengantar bahasa Inggris, dan belum adanya model pembelajaran bilingual yang efektif. Di SBI, peranan guru bilingual untuk mempersiapkan siswa agar kelak dapat bersaing secara global dalam dunia kerja sangat besar. Competitive advantage para lulusan sekolah bertaraf internasional antara lain sangat bergantung kepada proses pembelajaran selama pendidikan. Keuntungan kompetitif ini akan dapat dimiliki oleh para siswa jika guru mata pelajaran mempunyai pengetahuan dan ketrampilan bahasa Inggris yang memadai baik untuk memahami bahan pelajaran, mengajarkannya, dan melakukan evaluasi. Seorang guru bilingual harus memiliki tingkat ketrampilan dua bahasa yang cukup untuk bisa mengajar kelas bilingual. Chin dan Wigglesworth, (2007:5) mengemukakan tingkat ketrampilan bilingual sebagai berikut,
At the heart of the description of bilingualism is the issue of degree of bilingualism. Simply put, degree of bilingualism refers to the levels of linguistic proficiency a bilingual must achieve in both languages  to be considered a bilingual.
Seorang guru kelas bilingual harus orang yang bilingual, fasih dalam dua bahasa. Masalahnya apakah guru-guru mata pelajaran mampu menjadi seorang bilingual yang siap mengajar dengan dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh seorang guru agar siap mengajar. Di samping itu tingkat ketrampilan bilingual seperti apa yang dibutuhkan atau yang harus dicapai oleh seorang guru supaya mampu mengajar kelas bilingual. Chin dan Wigglesworth (2007) membedakan dua macam ketrampilan bilingual. Pertama,balanced bilingual, yaitu orang yang dapat menguasai dua bahasa secara sempurna dalam konteks yang berbeda-beda. Dalam konteks sistem pendidikan Indonesia, kemampuan seperti ini sangat sulit untuk dikuasai. Yang kedua ialah dominant bilingual, yaitu orang yang dominan dalam salah satu bahasa. Dalam praktek, ketrampilan seperti ini tidak dapat diterapkan untuk membicarakan semua hal. Guru bahasa Inggris, misalnya, mungkin tidak mampu menerangkan masalah biologi dengan benar dalam bahasa Inggris karena bahasa yang lebih dikuasainya atau yang lebih dominan ialah bahasa Indonesia. Demikian juga halnya dengan orang asing yang menguasai bahasa Indonesia mungkin tidak mampu menerangkan masalah budaya mereka dalam bahasa Indonesia; mereka akan menggunakan bahasa Inggris karena bahasa ini yang lebih dominan.
Mengingat kondisi sumber daya guru SBI saat ini, sangat sulit rasanya untuk mencapai tingkat kemampuan bilingual tertentu agar dapat mengajar kelas bilingual seperti yang diharapkan. Banyak hasil penelitian pemerolehan bahasa menunjukkan bahwa secara umum penguasaan bahasa asing (Inggris) akan bisa maksimal jika dimulai sejak kecil, terutama dalam penguasaan ucapan. Orang dewasa, termasuk guru-guru di SBI yang harus belajar bahasa Inggris lagi melalui kursus atau pelatihan, akan sangat terpengaruh oleh sikap, motivasi, bakat, umur, dll, dan faktor-faktor tersebut akan secara signifikan dapat mempengaruhi hasil belajar.
Pelatihan untuk guru bilingual
Bahan pelajaran dalam kelas bilingual (seharusnya) memakai bahasa Inggris. Sangat aneh jika bahan pelajaran memakai bahasa Indonesia. Oleh sebab itu tidak relistis jika penyampaian substansi pelajaran disampaikan (sebagian besar) dalam bahasa Indonesia. Ini merupakan tantangan bagi pengembangan SBI di Indonesia yang memerlukan kerja keras dan komitmen yang tinggi secara berkelanjutan. Menurut Education Advisor dari British Council, Itje Chodidjah, berdasarkan hasil penelitian, murid perlu waktu tujuh tahun untuk fasih berbahasa Inggris dalam mempelajari mata pelajaran tertentu (Dharma, 2007). Hal ini perlu didukung oleh tersedianya bahan ajar yang baik dan ketrampilan pedagogik guru yang memadai.
Tuntutan untuk memakai bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam beberapa mata pelajaran tersebut di atas telah mendorong sekolah untuk merancang berbagai program pelatihan bahasa Inggris untuk guru-guru. Mereka dikirim ke lembaga-lembaga pendidikan formal untuk mengikuti kursus bahasa Inggris selama beberapa bulan dengan harapan bahwa setelah menyelesaikan kursus mereka akan siap mengajar dengan bahasa Inggris. Ada juga sekolah yang mengundang pakar pendidikan bahasa Inggris untuk memberi pelatihan kepada guru-guru di sekolah secara reguler, di tengah-tengah kesibukan mereka mengajar. Yang menjadi pertanyaan ialah apakah para guru yang sudah mendapat pelatihan bahasa Inggris sudah siap dengan tugas yang diamanatkan oleh undang undang tersebut di atas. Jika mereka belum siap,  pengetahuan atau ketrampilan apa yang harus dimiliki oleh para guru agar mereka benar-benar siap mengajar dengan bahasa Inggris.
Salah satu SMA di Jawa Tengah memaparkan strateginya untuk pengembangan menuju sekolah unggul, antara lain sejak tahun 2006 para guru diberi training untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris melalui diklat bahasa Inggris Dasar. Sekolah tersebut berkerja sama dengan English Language Center, Universitas Sebelas Maret. Pada tahun 2007, ditindak lanjuti dengan kursus English Funcional. Selain itu dilakukan pula diklat bahasa Inggris berkerja sama dengan lembaga kursus bahasa San Diego Wonogiri.  Sedangkan untuk tahun 2008, telah dilaksanakan tes TOEIC untuk mengetahui sampai sejauh mana kualitas/ kemampuan guru dalam berkomunikasi dengan bahasa Inggris (http://sman2wonogiri.blog.plasa.com).
Program pelatihan serupa juga dilaksanakan oleh sekolah-sekolah lain yang sedang dipersiapkan menuju SBI. Namun perlu dipahami bahwa hasil tes standar seperti TOEIC atau TOEFL bukan menjadi jaminan bahwa seorang guru akan bisa mengelola kelas bilingual dengan benar seperti argumen yang dikemukakan oleh Dharma (2007) dalam kutipan di bawah ini,
Konsep ini berangkat dari asumsi yang salah tentang penguasaan bhs Inggris sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL. Penggagas mengasumsikan bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam pengantar bahasa Inggris maka guru harus memiliki TOEFL> 500. Padahal tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science dalam bhs Inggris. Skor TOEFL yang tinggi belum menjamin kefasihan dan kemampuan orang dalam menyampaikan gagasan dalam bahasa Inggris. Banyak orang yang memiliki nilai TOEFL<500 yang lebih fasih berbahasa Inggris dibandingkan orang yang memiliki nilai TOEFL > 500 . Singkatnya, menjadikan nilai TOEFL sebagai patokan keberhasilan pengajaran hard science bertaraf internasional adalah asumsi yang keliru. TOEFL lebih cenderung mengukur kompetensi seseorang, padahal yang dibutuhkan guru sekolah bilingual adalah performancenya, dan performance ini banyak dipengaruhi faktor-faktor non-linguistic. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogik.
Dengan asumsi bahwa tes TOEFL atau TOEIC yang diambil ialah tes dalam bentuk yang lama, bukan computeratau internet-based test,  argumen di atas menunjukkan bahwa ketrampilan membaca dan ketrampilan berbicara adalah dua ketrampilan yang berbeda. Ketrampilan membaca bukan jaminan dapat fasih berbicara apalagi dalam bahasa Inggris. Dalam literatur pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing banyak dibahas perbedaan antara ketrampilan membaca dan ketrampilan berbicara yang mempunyai implikasi pedagogis yang berbeda secara mendasar.
Jika argumen Dharma (2007) di atas benar, pola pelatihan guru bilingual yang selama ini dilakukan perlu dievaluasi.  Koordinator SBI  Jawa Tengah, dalam sebuah diskusi informal dengan penulis, menyatakan bahwa PBM kelas-kelas bilingual belum bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan walaupun para guru sudah menyelesaikan pelatihan bahasa Inggris. Mereka belum siap dan merasa belum memiliki ketrampilan yang memadai untuk melaksanakan pembelajaran bilingual walaupun mereka sudah mengikuti kursus dan pelatihan bahasa Inggris selama beberapa bulan. Keprihatinan ini perlu dicermati karena sebuah survei yang dilakukan oleh Astika, Wahyana, dan Andreyana (2008) tentang evaluasi diri menyangkut kemampuan dan ketrampilan bahasa Inggris dalam hubungannya dengan pembelajaran kelas bilingual menunjukkan hasil yang tidak menggembirakan. Hasil survei menunjukkan bahwa semua guru yang menjadi sampel menyatakan mereka mempunyai pengetahuan yang sangat baik tentang substansi mata pelajaran. Hal ini bisa dimengerti karena mereka mempunyai keahlian dalam mata pelajaran yang selama ini diampu. Dalam hal penguasaan bahasa Inggris, hasil survei menunjukkan kelemahan guru yang sangat mendasar, yaitu: (a) sebanyak 33,3 % responden menyatakan tidak memiliki bakat berbahasa Inggris, (b) sebanyak 66,7 % responden tidak dapat mengevaluasi efektifitas materi pelajaran dalam bahasa Inggris namun mereka dapat memahami konsepnya, (c) sebanyak 77,8 % responden tidak dapat menerangkan konsep materi dalam bahasa Inggris, dan (d) semua  responden (100 %) tidak mampu menjelaskan tata bahasa yang ada dalam materi pelajaran. Walupun kemampuan bahasa Inggris guru sangat kurang, mereka (100 %) mempunyai keinginan untuk selalu mengembangkan pengetahuan bahasa Inggris melalui pelatihan atau kursus. Hal lain yang menggembirakan ialah adanya fasilitas pendukung PBM berupa laboratorium komputer yang terhubung dengan internet yang cukup memadai dan 100 % responden berpendapat bahwa dukungan sekolah untuk melaksanakan program bilingual sudah bagus.
Kelas bilingual adalah kelas ESP
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahan ajar di kelas bilingual harus disajikan dalam bahasa Inggris. Oleh sebab itu kelas bilingual merupakan salah satu bentuk pengajaran content-based instruction (Dudley-Evans & St John, 1998) karena bahan ajar dibuat berdasarkan silabus mata pelajaran. Dalam konteks SBI, mengajar dengan medium bahasa Inggris merupakan salah satu bentuk program ESP (Hutchinson & Waters, 2006). Bentuk lain daricontent-based instruction ialah program imersi di mana proses belajar mengajar sepenuhnya memakai bahasa Inggris. Keunggulan kelas bilingual ialah materi pelajaran ditulis dalam bahasa Inggris dan relevan dengan kurikulum atau kebutuhan akademik siswa. Dengan demikian pengajaran menjadi sangat bermakna dan dapat menjadi faktor pendorong motivasi belajar.
Guru bilingual di SBI adalah guru ESP dan mempunyai tiga macam peran dalam menjalankan tugasnya: (a) sebagai praktisi, (b) sebagai perancang materi, dan (c) sebagai evaluator. Sebagai praktisi, guru mempunyai tugas untuk mendesain dan mengatur proses belajar mengajar, memberi penjelasan masalah-masalah kebahasaan (bahasa Inggris), dan secara terus menerus mengembangkan kemampuan bahasa Inggris siswa. Dalam perannya sebagai perancang materi, guru mempunyai tugas untuk merencanakan PBM, memilih materi yang cocok dengan silabus, memodifikasi materi supaya sesuai dengan tingkat kemampuan siswa, atau membuat materi yang baru sama sekali jika materi yang siap pakai tidak ada. Sebagai evaluator, guru mempunyai tugas untuk mengevaluasi efektivitas materi pelajaran dan melakukan evaluasi terhadap pemerolehan belajar siswa. Ketiga peran tersebut di atas dapat dijalankan dengan baik jika bahasa Inggris merupakan bahasa pertama atau bahasa kedua, dan guru ESP tidak mengalami kesulitan dalam menggunakan bahasa Inggris karena mereka adalah penutur asli bahasa Inggris. Dalam konteks pendidikan di Indonesia, bahasa Inggris adalah bahasa asing yang harus dipelajari dan diajarkan dengan model pendekatan yang berbeda dengan model pendekatan pembelajaran di negara-negara yang berbahasa Inggris di mana para guru ESP tidak mempunyai masalah dengan bahasa pengantar. Masalah yang dihadapi oleh guru bilingual SBI ialah pengetahuan dan ketrampilan menggunakan bahasa Inggris.
Dalam menjalankan proses belajar mengajar, guru bilingual SBI  harus mempunyai dua macam pengetahuan kebahasaan, yaitu pengetahuan tentang istilah tehnis (technical vocabulary) dalam mata pelajaran tertentu dan pengetahuan tentang tata bahasa Inggris. Menerangkan konsep yang terkandung dalam istilah-istilah tehnis mungkin bukan merupakan masalah yang terlalu berat karena guru sudah mempunyai latar belakang ilmu yang diajarkan. Ini merupakan kekuatan bagi guru bilingual. Yang perlu harus dikembangkan ialah pengetahuan tentang tata bahasa dan ketrampilan menggunakan bahasa Inggris baik untuk keperluan umum (non-pedagogis) maupun untuk mengajarkan materi pelajaran (ketrampilan pedagogis). Bagaimanapun juga, mengajarkan suatu topik mata pelajaran dengan pengantar bahasa Inggris tidak bisa lepas dari pengajaran tata bahasa walaupun cara mangajarkannya tidak persis sama seperti mengajarkan tata bahasa dalam pelajaran bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib (English for General Purposes) pada umumnya.
Dalam mengajar, guru bilingual akan selalu mengadakan interaksi verbal dengan siswa baik satu arah maupun dua arah. Dalam hubungan ini, ada berbagai fungsi bahasa yang perlu dikuasai dalam mengajarkan materi (content knowledge), misalnya saja: menjelaskan konsep, melaporkan kejadian tertentu, memberikan definisi, memberi instruksi, menjelaskan proses, menjelaskan klasifikasi, memberi contoh, menerangkan tabel, gambar, ilustrasi, atau grafik, membandingkan dua masalah, membuat kesimpulan, dll.(Gillet, 2007). Fungsi-fungsi bahasa seperti ini memerlukan transactional skills, yaitu ketrampilan untuk menyampaikan infromasi yang bersifat satu arah, dan interactional skills, yaitu  ketrampilan untuk melakukan interaksi bahasa dua arah, misalnya dalam diskusi walaupun dalam bentuk sederhana, atau dalam menjawab pertanyaan atau memberikan feedback (Yule, 1997).  Dalam proses pembelajaran bahasa, dikenal dua macam feedback, yaitu feedback terhadap kesalahan tata bahasa (Doughty & Williams, 1998) dan feedback terhadap masalah makna komunikasi seperti yang terungkap dalam penelitian oleh Astika (2007).  Kedua macam feedback tersebut bisa juga dilakukan dalam bentuk tulis jika assessment terhadap hasil pembelajaran siswa dilakukan dalam bentuk tertulis, atau dalam bentuk dialog (Weisberg, 2006), di mana guru, selama proses belajar berlangsung,  berdialog dengan siswa agar siswa dapat menyelesaikan tugas. Sudah barang tentu guru harus memiliki ketrampilan bahasa Inggris tingkat lanjut.
Masalah linguistik dalam kelas bilingual
Manfaat pengajaran bahasa Inggris yang berdasarkan pada content telah banyak dibahas di dalam literatur yang menunjukkan keunggulan pendekatan ini dalam hubungannya dengan pemerolehan bahasa dan substansi mata pelajaran. Dalam pendekatan ini peran tata bahasa tidak dapat diabaikan. Menurut Chin dan Wigglesworth (2007), pemahaman suatu konsep dan pemerolehan bahasa dalam pembelajaran dapat terjadi jika siswa memperoleh bimbingan yang jelas tentang masalah kebahasaan dan konsep-konsep esensial dalam ilmu tertentu. Dengan kata lain, pemahaman konsep tidak dapat dipisahkan dari pemahaman tentang masalah kebahasaan. Oleh sebab itu ketrampilan menerangkan konsep dan tata bahasa merupakan syarat mutlak bagi guru bilingual. Pentingnya peran bahasa dalam memahami suatu ilmu dijelaskan oleh Chin dan Wiggleswroth (2007) yang mengutip pernyataan Halliday sebagai berikut,
… language is the essential condition of knowing, the process by which experience becomes knowledge that would lead to the realization that ‘knowledge’ itself is constructed  in varying patterns of discourse’. A key way for enhancing mental abilities is through enhancing learners’ text-based language patterns.
Jadi pemahaman yang tepat tentang suatu pokok bahasan dapat terjadi bila bahasa dan konsep tidak diterangkan secara terpisah tetapi merupakan suatu kesatuan yang utuh dan diajarkan bersamaan melalui langkah-langkah pedagogis yang disusun secara cermat. Pemahaman teks sangat bergantung kepada konsep linguistik. Siswa yang tidak dapat memahami suatu konsep dapat disebabkan oleh bahasa guru yang tidak mencerminkan penguasaan masalah kebahasaan. Sebuah teks bahasa Inggris selalu memakai penanda linguistik yang menunjukkan hubungan antara konsep yang satu dengan yang lain. Pemahaman teks yang tidak lengkap bisa terjadi karena tidak dipahaminya fungsi dari penanda linguistik dalam suatu kalimat atau antar kalimat. Sebuah paragraf bukan merupakan kumpulan kalimat yang terpisah-pisah, ada banyak penanda linguistik yang menunjukkan hubungan ide antar kalimat yang membuat teks menjadi kohesif. Di kelas bilingual, ketrampilan untuk memahami fungsi penanda linguistik perlu diajarkan untuk memahami informasi tertentu, misalnya memahami contoh, klasifikasi, hubungan sebab akibat, deskripsi, kesimpulan, argumen, dan sebagainya.
Task sebagai dasar pengajaran di kelas bilingual
Salah satu pendekatan mengajar bahasa yang sedang berkembang ialah pendekatan yang didasarkan pada task.Pendekatan ini dapat dicoba di kelas bilingual.  Menurut Nunan (2004), task ialah,
a piece of classroom work which involves learners in comprehending, manipulating, producing or interacting in the target language while their attention is focused on mobilizing their grammatical knowledge in order to express meaning and in which their intention is to convey meaning rather than to manipulate form.
Pemahaman terhadap task seperti inilah yang sebaiknya diterapkan dalam mengajarkan mata pelajaran kelas bilingual di SBI. Dalam konteks SBI, di mana bahasa Inggris dipakai sebagai bahasa pengantar, menyelesaikan sebuah tugas (task completion) dalam proses belajar di kelas memerlukan keterampilan menggunakan tata bahasa Inggris (language forms) dan pemahaman terhadap substansi materi pelajaran (meaning or content knowledge). Jadi bahasa Inggris berfungsi sebagai alat untuk menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran. Pemahaman ini dapat diterjemahkan ke dalam langkah-langkah pedagogis menggunakan sebuah pedagogical framework (Willis, 1996, 2005) yang terdiri dari pre-task, task cycle, dan feedback. Pada tahap  pre-task, guru menerangkan konsep-konsep penting dari materi pelajaran (technical dan semi-technical vocabulary), hubungan antar-konsep, dan masalah-masalah kebahasaan yang esensial untuk memahami materi atau teks. Pada langkahtask cycle, guru memberi dan menerangkan tugas (task) yang akan dikerjakan siswa, menjadi fasilitator bagi siswa dalam proses mengerjakan tugas, dan pada tahap feedback, guru memberi masukan terhadap hasil pekerjaan siswa. Masukan bisa ditujukan untuk perbaikan substansi tugas atau bisa juga untuk kesalahan bahasa Inggris. Untuk melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan seperti ini guru perlu menguasai keterampilan memakai fungsi-fungsi bahasa dan keterampilan memberikan feedback baik pada waktu pelajaran berlangsung maupunfeedback untuk tugas-tugas yang harus diselesaikan oleh siswa.
Pengajaran berdasarkan pada task mempunyai landasan teoritis yang sangat kuat. Teori yang dijadikan dasar pendekatan ini ialah interactionist theory (Pica, Kanagy, & Falodun, 1993). Teori ini mengatakan bahwa cara yang paling efektif untuk belajar ialah melalui interaksi. Di kelas ada banyak kesempatan untuk mendengarkan dan memahami konsep-konsep baru, bertukar pendapat, bertukar pikiran antar siswa maupun dengan guru. Tujuan belajar bukan hanya untuk memahami konsep, tetapi juga untuk melatih kemampuan memakai bahasa  (Inggris) sebagai sarana untuk bertukar pikiran atau pendapat dalam usaha untuk mencapai tujuan dari tugas yang diberikan (task goal).  Dalam hubungan ini, Long (1983, 1996) mengemukakan bahwa pembelajaran dapat terjadi jika siswa memperoleh input yang dapat dimengerti (comprehensible input) sebagai hasil dari interaksi yang bermakna.
Implikasi dari teori ini ialah bahwa agar terjadi pembelajaran di kelas, perlu diciptakan kesempatan bagi siswa untuk mangadakan interaksi sebab interaksi merupakan pra-syarat penting untuk terjadinya pembelajaran. Hal ini dapat terjadi jika kegiatan belajar dirancang berdasarkan pada task atau pemberian tugas. Bahan pelajaran yang dianggap dapat mendorong terjadinya interaksi antar siswa ialah bahan pelajaran yang, antara lain: (a) mengharuskan siswa untuk saling bertukar informasi, (b) berisi informasi yang harus disampaikan dengan cara dua arah, (c) mempunyai tujuan yang jelas, (d) mengandung masalah yang harus dipecahkan bersama.
Teori lain yang mendasari model pembelajaran berdasarkan task ialah sociocultural theory yang mengatakan bahwa dalam komunikasi, orang akan melakukan aktivitas secara bersama-sama sesuai dengan tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya. Hasil penelitian dalam bidang ini (Ellis, 2000) menunjukkan bahwa komunikasi bergantung pada interaksi antara penutur dan petutur, bukan karakteristik dari task itu sendiri.  Task yang sama dapat menghasilkan interaksi yang berbeda jika dilakukan oleh orang yang berbeda dalam waktu yang berbeda atau bahkan dalam waktu yang sama. Pembelajaran dapat terjadi jika siswa terlibat dalam interaksi sosial di mana mereka dapat saling membantu satu sama lain, misalnya dengan teknik belajar kolaboratif (Wee & Jacobs, 2006). Ini menunjukkan bahwa untuk terjadinya pembelajaran, guru perlu merancang kegiatan belajar yang melibatkan siswa dalam interaksi sosial di mana mereka dapat saling membantu mengerjakan tugas yang diberikan guru. Uraian di atas menunjukkan bahwa guru bilingual harus memiliki keterampilan tambahan di samping penguasaan konsep materi mata pelajaran, yaitu keterampilan berbahasa Inggris dan keterampilan menggunakan bahasa tersebut dalam proses belajar mengajar termasuk keterampilan pengiring dalam pengelolaan PBM.
Model kelas bilingual yang bisa dikembangkan
SBI merupakan perkembangan baru dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Perkembangan ini memerlukan pembaruan daya dukung berupa sarana dan prasarana pendidikan, sistem manajemen sekolah, dan   guru yang berkualitas yang dapat menguasai teknologi informasi. Sistem pembelajaran yang konvensional yang bergantung pada papan tulis dan kapur dan dibatasi oleh ruang kelas yang statis tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung sistem pembelajaran yang dituntut oleh SBI. Oleh sebab itu perlu dirancang model pembelajaran yang  dapat mengakomodasi cita-cita SBI dan perkembangan teknologi agar pembelajaran dapat efektif dan kompetitif.
Model ini menunjukkan bahwa dalam kelas bilingual perlu ada dua orang guru, misalnya guru bahasa Inggris yang bertanggung jawab mengajarkan masalah-masalah kebahasaan (Inggris) dan guru Matematika yang bertanggung jawab mengajarkan substansi pelajaran – matematika. Bahan ajar dalam model seperti ini sudah tentu harus dalam bahasa Inggris. Dalam pelaksanaan pembelajaran, konsep-konsep matematika dapat diajarkan terlebih dahulu oleh guru Matematika dalam bahasa Indonesia dan beberapa kata dalam bahasa Inggris yang dikuasainya dengan baik. Sesudah itu guru bahasa Inggris mengajarkan masalah-masalah kebahasaan dalam bahasa Inggris yang diperlukan untuk memahami bahan ajar matematika dalam bahasa Inggris. Karena siswa sudah diajar konsep-konsep matematika, mereka sudah mempunyai pengetahuan tentang pokok bahasan dan pengetahuan ini dapat membantu pemahaman mereka untuk mengetahui bahan tersebut dalam bahasa Inggris.  Dengan model seperti ini, kelemahan guru Matematika yaitu kurangnya kemampuan bahasa Inggris,  dapat dibantu oleh guru bahasa Inggris dan guru bahasa Inggris tidak perlu lagi mengajarkan konsep-konsep matematika. Dalam kondisi yang ada sekarang di mana guru mata pelajaran belum sepenuhnya dapat mengajar kelas bilingual secara mandiri, pendampingan guru bahasa Inggris dengan model ini sangat diperlukan. Model ini dapat membantu siswa menguasai substansi mata pelajaran dan bahasa Inggris secara bersamaan. Keberhasilan dari model ini sudah tentu akan bergantung kepada banyak faktor. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa kerjasama kedua orang guru harus mulai dari pembahasan tentang KTSP, desain silabus, seleksi dan atau adaptasi materi, dan proses belajar mengajar di kelas.  Setiap tahap dari pengembangan model ini harus disertai dengan evaluasi dengan mempertimbangkan konteks belajar (learning needs) dan tujuan belajar (target needs. Model seperti ini juga disebut co-teaching (Liu, 2008) yang dikembangkan di sekolah dasar di Cina dalam kelas-kelas bilingual. Guru yang terlibat dalam co-teaching ialah guru penutur asli berbahasa Inggris dan guru lokal. Dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, mereka bekerjasama mulai dari perencanaan pelajaran sampai dengan pelaksanaan evaluasi. Model ini telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Di Indonesia, untuk memperoleh guru penutur asli berbahasa Inggris sangat sulit. Namun demikian, kendala ini bisa diatasi dengan melibatkan guru bahasa Inggris yang ada di sekolah dengan mempertimbangkan masalah-masalah administratif dan manajerial sekolah.
Menurut Liu (2008), co-teaching atau  team teaching sekarang semakin populer karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa sistem ini menghasilkan kualitas pembelajaran yang bagus dan dapat mengembangkan ketrampilan guru yang terlibat dalam proses PBM. Sistem mengajar ini telah diterapkan di banyak negera tidak hanya di negara negara barat tetapi juga di Asia.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan team teaching (Liu, 2008). Dalam team teaching, guru-guru yang terlibat mempunyai tanggung jawab dan status yang sama. Secara bersama-sama mereka mendesain perencanaan mengajar, mengadakan evaluasi dan bertanggung jawab kepada semua siswa di kelas. Guru bahasa Inggris dalam team teaching tidak lagi dianggap sebagai asisten guru mata pelajaran, tetapi dianggap sebagai sumber pengetahuan, fasilitator, dan guru yang mempunyai status yang sama. Dengan kata lain, kedua guru secara efektif saling melengkapi satu sama lain sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing dalam proses belajar mengajar.
Model team teaching ini bisa berhasil hanya jika kedua guru memiliki ketrampilan dan hubungan kerja yang kuat, profesional, mempunyai rasa saling percaya, bersedia menyediakan waktu yang cukup untuk mewujudkan tujuan pengajaran. Guru yang terlibat dalam team teaching harus mempunyai pengalaman mengajar yang cukup. Mereka perlu memahami peran masing-masing di kelas, jika tidak, hal ini dapat mempengaruhi kenerja team dan dapat dianggap sebagai kompetisi antara guru dalam team, yang akhirnya dapat melemahkan semangat kerja. Team teaching harus dipahami sebagai usaha untuk meningkatkan kompetensi mengajar dan melengkapi kelemahan masing-masing sebagai guru kelas bilingual.
Strategi pelaksanaan team teaching harus juga dipersiapkan dengan seksama, antara lain,
1. Persiapan
Dalam tahap ini, guru mata pelajaran dan guru bahasa Inggris membicarakan bagaimana cara mengajar siswa secara efektif. Diskusi difokuskan pertama-tama pada tingkat kemampuan siswa secara keseluruhan dalam kelas yang akan diajar, kekuatan dan kelemahan mereka, aspek apa yang perlu diperhatikan, masalah disiplin, dll. Guru dalam team harus menetapkan tujuan mengajar, menentukan topik bahasan untuk satu semester. Persiapan ini bisa memerlukan beberapa pertemuan agar setiap guru memahami apa yang menjadi target pembelajaran dan memahami ciri-ciri pengajaran dalam team, dan mengembangakan rasa percaya diri.
Model pengajaran ini juga memerlukan pertemuan dan diskusi secara teratur selama semester berjalan untuk merencanakan persiapan pengajaran. Oleh sebab itu sangat penting membuat jadwal yang teratur untuk mengadakan pertemuan dan merencanakan unit-unit pelajaran, antara lain menyangkut:
1.      apa yang akan diajarkan,
2.      materi atau sumber belajar yang akan dipakai,
3.      peran dan tanggung jawab masing-masing guru,
4.      bagaimana mengevaluasi belajar siswa, dan
5.      bagaimana cara membantu siswa yang lemah dan perlu bantuan.
Masalah-masalah ini memerlukan diskusi mendalam agar peran dan tanggung jawab masing-masing guru menjadi jelas. Setiap guru harus mempunyai hak untuk mengutarakan pendapat dan memberikan kontribusi positif dalam membuat rencana pelajaran. Pada dasarnya, setiap guru dalam team perlu menyadari pentingnya toleransi,  adanya perbedaan, dan mencari jalan untuk membuat perencanaan yang bermanfaat bagi siswa.
2. Pelaksanaan
Dalam implementasinya, model team teaching memerlukan dukungan manajerial dan administratif.  Guru akan memerlukan waktu lebih banyak, program akan mempunyai dampak terhadap fasilitas mengajar, jadwal mengajar, dan dukungan finansial dalam pengadaan alat dan sumber belajar. Keberhasilan team teaching akan sangat bergantung kepada manajemen sekolah yang harus mengambil langkah-langkah berikut (Liu, 2008):
1.      menciptakan kondisi kerja yang kondusif bagi guru dalam team untuk merencanakan pelajaran,
2.      membagi beban mengajar secara proporsional untuk guru dalam team,
3.      bersama-sama dengan semua guru menciptakan kegiatan yang dapat membangun ralasi yang harmonis dan produktif,
4.      membangun kesadaran yang kuat akan pentingnya kerjasama dalam menangani isu pendidikan dalam modelteam teaching agar terbentuk kondisi yang dapat mendukung keberhasilan program.
Tanpa dukungan yang terus-menerus dari manajemen sekolah, semangat model team teaching bisa berubah menjadi frustasi dan implementasinya akan menghasilkan pembelajaran yang tidak efektif. Menurut Elena (2006), efektivitas seseorang dapat berkembang melalui dorongan dan dukungan orang lain. Setiap orang dapat diyakinkan bahwa dia memiliki ketrampilan dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas tertentu dan mencapai keberhasilan. Dukungan dan dorongan secara verbal dapat meningkatkan usaha seseorang untuk mencapai tujuan, bukannya menyerah ketika dia mengalami hambatan.
Menurut Lee (2008), dari hasil penelitiannya tentang team teaching, rahasia keberhasilan terletak pada adanya sikap terbuka dari guru dan cara menghindari konflik dalam team. Mereka melaksanakan perannya secara fleksibel, kadang-kadang sebagai ‘asisten’ kadang kadang sebagai guru utama (pemimpin) dengan tetap berpedoman kepada tujuan dan arah pembelajaran. Mereka percaya bahwa setiap guru harus bersedia untuk saling mendengarkan dan menerima saran satu sama lain, mempelajari masalah yang muncul, dan mencari win-win solution. Dalam proses merencanakan kelas bilingual perlu disadari bahwa pertemuan yang teratur antara guru bahasa Inggris dan guru mata pelajaran mutlak harus dilaksanakan. Oleh sebab guru-guru dalam team harus membangun komitmen yang berkelanjutan dan  menyediakan waktu untuk merencanakan kelas bilingual.




http://gurupembaharu.com/home/?p=2733
Santrock, John W., (2004). Psikologi Pendidikan Edisi Kedua. Jakarta: Prenada

Sabtu, 05 Maret 2011

Cerpen-Tell It, Babe

“Ricky Adryan Prayoga…”
            Kulihat cowok bertampang ganteng itu menaiki podium. Ini adalah hari kelulusan Global Indo International High School. Tak bisa aku berpaling melihatnya. Melongo nggak jelas singkatnya. Baik, ramah, pintar, argh….. Hampir sinting aku dibuat cowok Indonesia tulen ini. Yang membuat aku tak bisa melupakannya adalah… dia tetanggaku. Kamar kami berhadapan. Aku bisa melihatnya dari jendela kamarku setiap saat. Kami selalu berkomunikasi lewat kertas gambar besar. Menuliskannya sebesar mungkin sehingga dapat terbaca pada jarak 5 meter.
            “Chloe Miklotov,” namaku dipanggil kepala sekolah. Aku masih belum sadar dari alam mimpiku. Membayangkan aku menikah dengannya suatu hari nanti, hehe.. “Chloe Miklotov,” aku semakin terperosok ke alam tak jelas. Memejamkan mata. “Chloe Miklotov,” aku tersadar ketika Ricky menyikutku sambil kembali ke tempat duduknya semula. Sambil menaikkan kacamata minusku yang melorot, malu-malu aku naik ke podium. Setelah mendapatkan ijazahku, kusalami semua guru yang ada disana. Tak sanggup rasanya membendung air mata ini. Ku peluk dua guru yang sangat berpengaruh dalam diriku. Guru bahasa Rusia, Mrs. Gagarin Oxalanova dan guru bahasa Perancis, Mr. Louise Claude. Bisa dibilang aku anak emas mereka berdua. Aku keturunan Rusia-Perancis. Masa kecilku kuhabiskan di Bordeaux, Paris, dan Moscow. Sehingga aku fasih kedua bahasa itu. Kami pindah ke Indonesia ketika aku akan masuk SMA.
            Setelah itu aku turun dan tiba-tiba Ricky menjabat tanganku sambil memberi ucapan selamat. “Lagi-lagi kamu jadi yang terbaik di kelas bahasa, selamat ya”. Perasaanku masih campur aduk. Aku masih belum mengerti apa maksudnya. “Apa??”, seruku seraya menyeka sisa-sisa air mata di podium tadi. “Iya, kamu tadi bengong. Mungkin nggak dengar ya?? Kanselor Shepard bilang nilai kamu yang tertinggi di kelas bahasa”,sambungnya. “Yah, terbaik dan juga teraneh di kelas bahasa”, aku menimpali sambil tersenyum.

* * *

            Selasa malam, aku sedang sibuk dengan laptopku. Sambil melahap croissant dengan butterscotch aku melihat apakah permintaan beasiswaku ke Universite de Paris diterima. Aku akan mengambil jurusan sastra Prancis disana. Oh Tuhan, aku tak bisa membayangkannya jika aku diterima. Menguasai banyak bahasa sudah menjadi impianku sejak masih kecil. Tapi itu juga berarti aku akan meninggalkan pangeranku, Ricky. Dia bilang akan menetap di Indonesia. Kuliah di Universitas Indonesia mengambil jurusan hukum.
            Sambil melongo di depan laptopku, sesekali kulihat ke kamarnya. Masih kosong. Tidak seperti biasanya. Tiba-tiba dia masuk ke kamar membanting pintu sambil memegang telepon genggam di telinganya. Sepertinya dia sedang berkelahi lewat telepon dengan seseorang. Mondar-mandir tak jelas sambil melihat ke bawah seperti pemulung mencari sampah. Dia matikan telepon genggamnya dan mencampakkannya ke tempat tidurnya.
            Aku sudah lupa pada laptopku. Langsung ku sambar alat komunikasi khusus kami berdua.

Ada apa?? (kalau boleh tahu) J

Aku sudah capek berpura-pura.. L

Sorry..

            Kemudian dia membalas dengan senyumnya yang khas dan hampir membuatku meleleh. Dia menggeser tirai kamarnya sehingga aku tidak bisa melihatnya lagi. Ah menyebalkan. Ini pasti ulah pacarnya, si wanita jalang pirang berdarah murni Amerika itu, Michelle Smith. Cewek paling populer di sekolah kami. Ketua ekskul cheerleader. Kalian pasti tahu bagaimana cewek-cewek yang ada di klub itu. Serba sempurna (menurut mereka). Harus kuakui, dia memang cantik, pintar, kaya, tapi ada satu kekurangannya, sombong. Setiap kali berjalan dagunya tidak pernah turun. Selalu saja diangkat. Aku sangat senang ketika dia menginjak kotoran kucing di halaman belakang sekolah tempo hari. Chumley dari klub mading mengabadikan momen gila itu. Dia menempel fotonya di mading. Seisi sekolah jadi tahu kejadiannya.
            Aku tahu sebenarnya dia tidak terlalu suka sifat-sifat pacarnya itu. Tapi mau bagaimana lagi. Michelle suka mengatur dan egois. Oh Ricky, seandainya kau tahu kalau akulah satu-satunya cewek yang mencintaimu dengan sepenuh hati. Akulah yang tahu bagaimana keseharianmu, semua curahan hatimu yang kau ceritakan padaku. Akulah yang membuat kau tersenyum kembali ketika kau bersedih. Aku lebih tahu kau daripada yang dipikirkan Michelle selama ini. Semuanya.
            Aku kembali ke laptopku dan aku hampir pingsan melihat yang tertulis disana. Lamaranku diterima. Aku senang sekali. Aku melompat-lompat kegirangan dan berteriak-teriak seperti orang sinting. Tanpa kusadari ternyata Ricky membuka tirainya diam-diam dan dia  tersenyum melihatku. Ah aku tak peduli, hahaha..

* * *

            Keesokan harinya aku duduk-duduk didepan rumahku sambil membaca novel Twilight yang sudah mengubah cara pandangku terhadap vampir. Aku sangat terobsesi dengan kisah cintanya. “Seandainya…”
            “Seandainya apa?”, Ricky mengagetkanku. Aku langsung salah tingkah, menutup novelku, dan tak berani menatap matanya. Sebenarnya matanya biasa saja. Berwarna coklat tua, seperti kebanyakan warna mata orang Indonesia pada umumnya. Angin berhembus menggeser beberapa helai rambutku sehingga tepat berada di pipiku. Perlahan tapi pasti Ricky mengembalikan rambutku tadi ke posisinya semula sambil membelai pipiku. Ya Tuhan, jantungku berdegup kencang tak menentu. Dia tersenyum padaku. Senyum yang mungkin dapat menyinari seluruh kota ini. Kubalas senyum sempurna itu dengan senyum kikuk yang aneh. Betapa malunya.
            Momen indah itu dihancurkan oleh kedatangan si iblis betina, Michelle. Ricky berlari menuju pacarnya itu. Mereka berpelukan di depan ku seolah mereka adalah pemain utama teater musikal dan aku si pecundang yang selalu mengemis cinta. Sungguh memuakkan. Michelle tersenyum sinis padaku dan mereka meninggalkan aku sendiri tanpa mengucapkan sepatah katapun.
            Oh ya, aku baru ingat. Hari ini klub  footbal sekolah akan bertanding dengan klub sekolah internasional dari Australia. Ini hanya pertandingan biasa. Sebagai tanda kelulusan bersama antar sekolah. Aku harus bergegas. Ricky akan ikut main disana.

            Aku dan teman-teman dari klub bahasa mendapat posisi kursi yang bagus. Kami dapat melihat semua dengan jelas. Ini berkat Norita dari kelas Spanyol. Tentu saja ia akan memesan tempat bagus agar ia dapat melihat pujaan hatinya, Juan. Pertandingan dibuka dengan aksi para gadis liar sebagai pemandu sorak. Kemudian para pemain memasuki lapangan. Setelah arahan dari wasit, pertandinganpun dimulai.
            Sejujurnya aku tidak terlalu mengerti olahraga ini. Mereka saling menabrak, menghadang dan melempar bola rugbynya. Pertandingan semakin memanas(menurutku) dan aksi para gadis liar itu semakin menjadi-jadi. Melompat, memamerkan gigi dan ketiak mereka sambil mengangguk-angguk tak jelas dan meneriaki para pemain dengan ejaan dari nama klubnya.
            Pertandingan selesai. Aku tak tahu berapa skor akhirnya. Aku hanya melihat-lihat Ricky sejak pertandingan dimulai tadi. Yang membuatku kecewa seperempat mati adalah dia langsung celingak-celinguk mencari Michelle. Anehnya aku juga ikut mencari-cari dimana batang hidungnya. Ternyata Michelle sedang melancarkan aksinya menggoda cowok dari klub asal Australia itu. Ricky menghampiri dan menarik tangan si wanita jalang. Aku tidak tahu pasti apa yang mereka bicarakan. Aku hanya melihat dari kursi penonton. Tapi kesimpulan yang pasti adalah Michelle mencampakkan pangeranku. Terlihat jelas dari wajah Ricky. Aku tak berani kesana. Jika aku mencampuri urusan mereka mulut si pirang itu akan berbusa menceramahi aku. Aku diam terpaku.

* * *

            Malam ini ada prom. Aku tak mau kesana. Bisa-bisa aku jadi bahan tertawaan mereka. Aku sama sekali tak pandai berdandan. Terakhir kali aku ke pesta aku seperti badut sirkus aneh. Itu semua akibat ulah kakak sepupuku, Alexis. Waktu itu dia baru saja lulus sekolah kecantikan dan dia membuatku sebagai bahan percobaan perdananya. Sangat memalukan. Tapi sekarang dia tidak disini. Dia sudah kembali ke Moscow dan melanjutkan kuliah disana. Lega rasanya mengingat dia sudah pergi. Jika dia disini mungkin dia akan memaksaku datang ke prom dan mendandaniku habis-habisan.
            Aku hanya mengurung diri di kamar. Ku pandang ke kamar Ricky. Dia sudah siap untuk pergi. Dia kelihatan tampan sekali menggunakan tuxedo hitam lengkap dengan dasi kupu-kupunya. Sangat tidak mungkin memang kalau aku menjadi pendamping hidupnya. Dia begitu sempurna di mataku. Sedangkan aku hanya gadis berkacamata minus besar dan aneh yang agak kuper. Aku hanya bergaul dengan teman-temanku dari klub bahasa. Tiba-tiba dia menulis dengan alat komunikasi khusus kami.

Pergi malam ini??

Tidak, aku belajar… L

Ku harap kau bisa datang..

            Aku membalasnya dengan gelengan. Kemudian dia pergi. Tiba-tiba adikku datang ke kamarku sambil membawa majalah CosmoGirl favoritnya dan di sampulnya tertulis ‘Honey McMenemee sang duta Stark Megastore terlibat jambak-jambakan bersama pesaingnya Gabriel Luna’. “Ada apa?”, tanyaku.
            “Kudengar sekolahmu mengadakan prom malam ini”, katanya sambil bersandar ke pintu kamarku, “Kau tidak pergi?”.
            “Tentu saja tidak. Kau seperti tidak tahu saja kakakmu ini. Aku bukan orang yang suka pesta. Pesta terakhir yang kuhadiri membuatku hampir mati. Banyak orang merokok disana dan aku lupa membawa obat asmaku”, ceritaku panjang lebar.
            “Oh iya. Aku ingat. Kau hampir masuk UGD karena kejadian itu”, katanya sambil tersenyum. Aku melototinya sesaat. “ Aku hanya memberi saran padamu kakakku sayang. Aku yakin kau dapat berubah. Sebenarnya kau tidak kalah cantik dari Michelle. Hanya satu perbedaan kalian. Dia sangat agresif, optimis, dan percaya diri. Sedangkan kau, pendiam, pemalu, dan pesimis. Kau ingat apa kata papa pada kita; Nosce te ipsum-kenalilah dirimu sendiri.  Hanya itu yang ingin kuberitahukan padamu tolong pikirkan”, dia mengakhiri ceramahnya dan akhirnya pergi ke kamarnya. Aku merasa dia sedang memberiku kelas motivasi untuk anak-anak cacat.
            Kututup pintu kamarku. Berjalan terhuyung-huyung ke tempat tidurku. Aku memikirkan tentang perkataan adikku tadi. Dia benar. Aku pasti bisa berubah menjadi lebih percaya diri. Kulihat jam, masih pukul 19.55. Kurasa mereka tidak keberatan jika aku terlambat sedikit.
            Aku membuka lemari pakaianku mencari-cari gaun yang dibelikan orangtuaku pada saat mereka pergi ke Italia. Aku bergegas mengganti pakaian dan mendandani diriku secantik mungkin.
            Selesai. Aku sudah cukup cantik untuk datang ke pesta itu (setidaknya lebih baik dari yang dilakukan Alexis). Semua sudah sempurna. Kulihat diriku di kaca. Masih ada yang kurang. Ada yang mengganggu penampilanku. Kacamataku. Kulepas kacamataku dan memakai lensa kontak yang biasa kupakai ketika jam olahraga.
            Aku keluar dari kamar dan sepertinya adikku tahu kalau aku akan berubah pikiran dan pergi ke pesta itu.
            “Berubah pikiran?”, katanya.
            “Yah seperti yang kau lihat sekarang di depanmu”, sahutku. “Masih ada yang kurang?”
            Ada, untung saja kau bertanya padaku. Lihat rambutmu. Aku tidak ingin kau memakai ikat rambutmu yang itu. Sepertinya akan lebih cantik jika digerai saja”. Dia melepas ikat rambutku. Dia pergi ke kamarku untuk mengambil sisir dan menyisir rambutku. “Ini baru kakakku”, katanya setelah selesai menyisir rambutku. “Pergilah, nanti kau terlambat”.
            “Terima kasih, Yuri”.
            “Eh tunggu sebentar, masih ada lagi”, tiba-tiba dia kembali ke kamarku dan keluar dengan membawa kertas gambarku yang bertulisan “I LOVE YOU”.
            “Untung saja kau ingatkan. Terimakasih sekali lagi”.
            “Hey jangan lupa untuk cepat pulang. Besok pagi-pagi sekali papa dan mama akan kembali dari Bordeaux”, teriaknya tapi aku sudah berlari keluar dari rumah.

            Sesampainya aku disana ternyata pesta baru saja dimulai. Aku harus percaya diri. Aku masuk ke aula sekolah. Oh Tuhan.. Semua orang melihatku. Tetap kupegang janjiku untuk menjadi percaya diri. Tak kuhiraukan mereka yang terus melihat kearahku. Aku berjalan menuju satu orang yang spesial dalam hidupku. Ricky melihatku dan berjalan ke arahku. Tiba-tiba Michelle menarik tangannya. Tapi Ricky menepisnya begitu saja tanpa mengucapkan apa-apa. Akhirnya Michelle menyerah dan pergi. Ricky terus berjalan ke arahku. Setelah kami berjarak sekitar satu meter aku mengeluarkan kertas yang sudah kubawa sejak tadi dan membukanya. Tiba-tiba Ricky juga mengeluarkan kertas dan menunjukkannya padaku. “I LOVE YOU”…

Kamis, 03 Maret 2011

E-Learning, Apa Kelebihan dan Kelemahannya


E-Learning atau electronic learning adalah suatu metode pembelajaran yang melibatkan teknologi internet ataupun lainnya untuk menyampaikan materi pelajaran. Jaya Kumar C. Koran (2002), mendefinisikan e-learning sebagai sembarang pengajaran dan pembelajaran yang menggunakan rangkaian elektronik (LAN, WAN, atau internet) untuk menyampaikan isi pembelajaran, interaksi, atau bimbingan. Ada pula yang menafsirkan e-learning sebagai bentuk pendidikan jarak jauh yang dilakukan melalui media internet. Sedangkan Dong (dalam Kamarga, 2002) mendefinisikan e-learning sebagai kegiatan belajar asynchronous melalui perangkat elektronik komputer yang memperoleh bahan belajar yang sesuai dengan kebutuhannya. Atau e-learning didefinisikan sebagai berikut : e-Learning is a generic term for all technologically supported learning using an array of teaching and learning tools as phone bridging, audio and videotapes, teleconferencing, satellite transmissions, and the more recognized 5
Tapi sebenarnya efektifkah metode ini dalam pembelajaran? Apakah kelebihan serta kelemahanya?
Dibandingkan dengan proses belajar mengajar yang konvensional/ tradisional, e-learning memang memiliki beberapa kelebihan diantaranya :
1.      E-learning dapat mempersingkat waktu pembelajaran dan membuat biaya studi lebih ekonomis (dalam kasus tertentu).
2.       E-learning mempermudah interaksi antara peserta didik dengan bahan/ materi, peserta didik dengan guru maupun sesama peserta didik.
3. Peserta didik dapat saling berbagi informasi dan dapat mengakses bahan-bahan belajar setiap saat dan berulang-ulang, dengan kondisi yang demikian itu peserta didik dapat lebih memantapkan penguasaannya terhadap materi pembelajaran.
4. Kehadiran guru tidak mutlak diperlukan
5. Guru akan lebih mudah :
a. Melakukan pemutakhiran bahan-bahan belajar yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan tuntutan perkembangan keilmuan yang mutakhir
b. Mengembangkan diri atau melakukan penelitian guna meningkatkan wawasannya
c. Mengontrol kegiatan belajar peserta didik.
Namun disamping itu e-learning juga mempunyai beberapa kelemahan yang cenderung kurang menguntungkan baik bagi guru, diantaranya :
1. Untuk sekolah tertentu terutama yang berada di daerah, akan memerlukan investasi yang mahal untuk membangun e-learning ini.
2. Siswa yang tidak mempunyai motivasi belajar yang tinggi cenderung gagal.
3. Keterbatasan jumlah computer yang dimiliki oleh sekolah akan menghambat pelaksanaan e-learning.
4. Bagi orang yang gagap teknologi, sistem ini sulit untuk diterapkan
           
  Memang segala sesuatunya pasti  memliki kelebihan dan kekurangannya. Jadi pengajar juga bisa memilih metode paling tepat yang sesuai situasi dan kondisi untuk mengajar murid-muridnya