I made this widget at MyFlashFetish.com.

Sabtu, 04 Juli 2015

Road to UK; Pengalaman Mengikuti IELTS (part 3)

Sabtu, 14 Maret 2015 saya ikut tes IELTS yang kedua dengan persiapan tempur yang saya rasa cukup untuk skor 6.5. Bahkan saya targetkan 7 saking pd nya hahaha.

Lagi2 Reza buat tingkah yang bisa menjerumuskan diriny pada kegagalan. Saya TELAT. Sebenarnya nggak telat juga sih. Jadi gini, venue tes itu di sebuah hotel (masih sama dengan waktu saya tes pertama kali). Sebelumnya peserta menunggu di bagian resepsionis, setelah kumpul semua baru jalan bareng ke ruang ujian. Tapi kali ini ketika saya sampai di resepsionis malah sepi. Tidak ada tanda2 sekumpulan manusia mau tes IELTS. Saya pikir ah paling juga telat karena sebenarnya saya juga telat. Kita disuruh kumpul jam 8 dan saya sampai di tempat jam 8.20. Tiba2 saya merasa aneh dan langsung nyamperin si mas resepsionis. Benar saja, rupanya saya yang terlambat.

Saya langsung menuju ruang tes di lantai berapa ya saya lupa yang jelas ketika pintu lift terbuka terlihatlah pemandangan sekelompok manusia yang sedang absen dan ambil foto untuk sertifikat IELTS. Saya langsung deg2an nggak karuan. Saya samperin panitia nya dan ternyata belum telat. Saya ambil alat tulis dan KTP trus kasih semua barang bawaan lain sama si mas panitia. Setelah tanda tangan saya ambil foto dan di suruh keluar lagi. Semua peserta diminta berbaris sesuai nomor urut kemudian memasuki ruang ujian. Dan dimulai lah ujian..

Selama tes berlangsung saya berusaha menjawab setenang mungkin walaupun sebenarnya ada pressure terutama elemen yang ada time limit nya. Pada saat listening saya konsentrasi mendengarkan sambil memperhatikan soal. Reading juga aman walaupun saya selesai di menit2 terakhir. Saya yakin bisa dapat terget saya sebelumnya di dua elemen ini.

Memasuki writing, saya juga bisa jawab dengan lancar. Di task 2 saya sediakan waktu untuk buat outline tiap paragraf kemudian saya tinggal menulis secara keseluruhan. Saya memang mengerjakan task 2 terlebih dahulu karena task ini punya bobot nilai lebih daripada task 1. Saya bahkan terkejut melihat kedua writing saya. Saya bahkan jadi overconfident dan pasang target 7 di writing. Kebanggaan saya luntur saat keluar dari ruangan tes untuk menunggu giliran speaking. Saya memang model orang yang suka mengingat2 tes saya. Saya coba flashback mulai dari listening hingga writing dan tiba2 teringat SAYA TIDAK MENJAWAB SEMUA PERTANYAAN DI SOAL ESSAY. 

Soalnya kira2: bagi para orangtua yang bekerja, tempat penitipan anak adalah alternatif yang paling baik akan tetapi bagi sebagian yang lain merasa menitipkan anak pada keluarga seperti kakek dan nenek nya menjadi pilihan yang paling baik. Menurut Anda mana yang paling baik? Sertakan alasan yang mendikung!

Saya jawab dengan format: paragraf 1: parafrase soal dan menjawab soal secara singkat yaitu saya lebih prefer keluarga. Paragraf 2: saya ceritakan kelemahan tempat penitipan anak. Paragraf 3: saya ceritakan kelebihan keluarga. Paragraf 4: saya simpulkan jawaban dari 3 paragraf sebelumnya. 

Padahal, dari yang saya pelajari untuk soal seperti ini kita dituntut untuk menceritakan kelebihan dan kekurangan tempat penitpan anak kemudian di paragraf selanjutnya kelebihan dan kekurangan keluarga. Nanti di paragraf terakhir baru disimpulkan kita lebih prefer kemana dari penjabaran dua paragraf tersebut.

Mungkin karena lagi2 Reza suka anggap remeh dan keasikan nulis karena topik seperti ini sudah biasa dibahas oleh anak psikologi seperti saya. Akhirnya, bukannya malah menjelaskan dengan lengkap malah jadi banyak yang missed huhuhu. Tapi saya optimis di task 1 dan berharap skor task 1 bisa mendongkrak skor writing saya secara keseluruhan.

Saya benar2 galau sebelum speaking mengingat keteledoran saya itu. Belum lagi saya speaking jam 5 padahal selesai ujian tertulis jam 1. Bayangkan saya harus menunggu sekitar 4 jam. Mau pulang dulu eh kost saya jauh dari tempat tes. Ya sudah saya putuskan untuk tetap di sekitaran lokasi tes. Setelah selesai makan siang sekitar jam setengah 3 saya kembali ke venue tes. Sebenarnya prediksi waktunya emang lebih. Bayangkan kita cuma speaking 11-14 menit tapi di jadwal dibuat rentang per 30 menit per peserta. Itu sebabnya saya langsung kembali ke tempat. Betul saja sekitar jam 4 saya sudah dipanggil.

Pada saat speaking atmosfernya benar2 berbeda dari tes saya yang pertama kali. Examinernya bule cowok kira2 umurnya 40an, sangat ramah dan suka senyum. Saya jadi tenang dan jadi kayak ngobrol aja. Nggak ada pressure sama sekali. Di part 2 agak stuck karena saya diminta untuk ngomong 2 menit sedangkan saya udah kehabisan bahan pembicaraan. Pertanyaannya: deskripsikan momen saat kamu harus bersikap baik terhadap orang yang kamu benci. Sekitar satu menit saya sudah siap ngomong. Akhirnya saya nekat nanya examinernya: saya boleh sebut namanya? Trus dia ngangguk sambil senyum. Keluarlah semua unek2 saya soal orang ini. Serasa curcol jadinya wkwk. Saking banyaknya ngomong saya diminta berhenti sama dia  hahaha. Di speaking kali ini saya selalu mencoba untuk expand jawaban. Tidak ada jawaban pendek yang saya berikan. Misalkan dia nanya saya dari mana saya nggak cuma bilang Padangsidimpuan, tapi saya paparkan saya dari Padangsidimpuan, sebuah kota yang terletak di bagian selatan provinsi Sumatera Utara bla bla bla. Hobi kamu apa? Saya nggak jawab: baca. Saya jawab baca novel khususnya romance, scifi, dan detektif, saya juga punya banyak koleksi novel dan bla bla bla. Dari sini examiner bisa tau kita menyampaikan sesuatu in english. Logikanya kalau cuma ngasih jawaban ye no maybe atau jawaban 1 2 kata lainnya tentu dia susah untuk menilai kita. Kata2 saya juga biasa aja, nggak terlalu advance juga. Masih kata2 yang biasa dipakai sehari2.

Nah, pada saat saya mau keluar ruangan dan mau buka pintu tiba2 examinernya ngomong, Reza saya juga punya saudara psikolog loh. Memang sebelumnya ada beberapa pertanyaan yang berbau psikologi seperti lying dan language. Saya yang udah lama nggak ngulang pelajaran jadinya cuma ngomong berdasarkan ingatan saya soal dua topik itu, masalah benar atau tidaknya saya nggak peduli. Waktu dia ngomong kaya gitu saya cuma pura2 takut aja padahal saya tau kalau jawaban kita tidak dinilai berdasarkan kebenaran informasinya tapi sejauh mana kita bisa menyampaikannya. Saya bilang: oh my God, you are making me nervous now trus saya pasang muka cemas padahal sebenarnya udah tau maksudnya haha. Trus dia bilang lagi, nggak usah khawatir, saya nggak nilai benar salahnya yang kamu sampaikan tapi kemampuan kamu menyampaikan dan berkomunikasi in english. Yaudah saya permisi dan keluar ruangan sambil senyum2 sendiri. Akhirnya selesailah tes IELTS saya yang kedua ini. Saya cuma bisa pasrah dan doa. Jujur saya pd bisa dapat 6.5 tapi yang saya takutkan masih si writing itu. Jangan sempat deh di bawah 6, nggak mau IELTS lagiii!!!

13 hari kemudian, 27 Maret 2015 tepatnya pukul 3 sore saya buka situs untuk lihat hasil online. Jantung udah dagdigdug nggak karuan eh malah belum keluar rupanya. Saya buka lagi jam 4 belum ada juga. Saya mulai cemas dan takut akhirnya saya putuskan pergi ke rumah teman untuk menghilangkan kegalauan hati haha. Akhirnya sepulang dari rumah teman saya buka lagi sebelum tidur kira2 jam 11 malam. Pas udah masuk, terlihatlah sebuah tabel dengan 5 kolom. Jantung makin menggila dan tangan saya juga gemetaran dan dingin. Karna saya buka dari hp, jadi tulisannya kecil. Saya zoom in deh layarnya dan langsung fokus ke writing alhamdulillah dapat 6.5 terus mata saya bergerak ke kanan dan kiri. Mata saya melotot melihat hasilnya. Benar2 di luar ekspektasi. Cuma bisa  bilang Alhamdulillah ya Allah. Memang tidak ada usaha yang sia2. 

Listening 8.5
Reading 8
Writing 6.5
Speaking 8
Overall 8

Jumat, 03 Juli 2015

Road to UK; Pengalaman Mengikuti IELTS (part 2)

Akhirnya hari yang dinantikan tiba. 11 Oktober 2014 saya mengikuti IELTS perdana saya. Tapi apalah yang bisa diharapkan dari persiapan yang pas2an. Listening saya cukup banyak yang missed, hanya reading yang bisa saya harapkan untuk mendongkrak nilai saya karena saya cukup PD bisa mendapatkan nilai bagus di elemen tersebut. Writing saya pun amburadul walaupun sudah lebih baik daripada saat simulasi. Setidaknya saya sudah membaginya menjadi 4 paragraf utuh tapi isinya wallahuaklam. Saya kepikiran terus selama waktu menunggu speaking. Saya nggak mau ngulang, saya harus bisa dapat target, saya harus optimis. Itulah yang terus saya camkan sebelum speaking.

Memasuki speaking, examiner saya bule cowok paruh baya. Selama sesi berlangsung saya menjawab cukup lancar tapi agak pendek dan tidak jauh berbeda dari simulasi. Maklumlah, saya memang tidak ada latihan untuk yang satu ini. Dia terus pasang raut serius. Saya senyumin atau ada ada topik dan jawaban saya yang bisa disenyumin juga tetep tegang mukanya. Yaudah la mak ee, pasrah aja.

13 hari menanti hasilnya sangat menegangkan, saya sampai susah tidur apalagi mendekati hari H. Saya sangat takut. Saking degdegannya saya nggak mau buka hasilnya hari itu juga. Sabtu baru saya buka hasilnya. Tangan dingin gemetaran, jantung kayak berhenti sebentar, dan mata melotot liat haslinya. Mengecewakan naudzubillah. Benar2 mengecewakan.

Listening 6
Reading 6.5
Writing 5.5
Speaking 6.5
Overall 6

Selama beberapa saat saya mencoba memastikan bahwa saya tidak salah lihat. Ternyata memang cuma 6. Sesak rasanya padahal tinggal 0.5 lagi. Rp 2.350.000 sia2 begitu saja. Mau tes lagi segan minta sama mama karena biaya tes nya yang mahal. Akhirnya saya bulatkan tekad untuk tetap mendaftar ke universitas dengan nilai yang tidak cukup itu. Toh paling2 akan dapat LOA conditional. Uang untuk tes bisa diusahakan dari tabungan sendiri. Akhir Oktober sampai awal November saya siapkan berkas untuk daftar ke universitas tujuan dan pada akhir November saya terima email kalau saya diterima di uni tersebut dengan syarat saya harus dapat nilai IELTS yang telah ditetapkan.

Setelah mendapatkan kabar gembira tersebut saya langsung bersemangat lagi untuk ikut IELTS. Saya benar2 takjub pada diri saya sendiri. Saya tidak ikut les lagi dan malah membuat jadwal latihan saya sendiri. Saya lahap sisa buku IELTS Cambridge saya dari seri 4-10 dan sumber2 lainnhya. Saya memang model kerbau yang musti 'dicambuk' baru mau bekerja. Saya tidak mau IELTS yang ketiga, keempat, kelima, atau seterusnya. Ini harus jadi yang terakhir.

Desember 2014 saya fokus di writing task 2, Januari 2015 task 1, Februari 2015 reading dan listening. Jadi intinya 7 buku saya lahap dalam waktu 3 bulan. Akhir Februari saya pesan tes tanggal 14 Maret. Jadi selama 13 hari sebelum tes saya ulangi lagi latihan 3 bulan tersebut untuk direfresh dan juga sekaligus latihan speaking. Kali ini saya betul2 belajar. Saya download aplikasi IELTS Speaking (kalau tidak salah, soalnya udah dihapus hehe) di iPad saya. Dengan aplikasi ini kita bisa latihan sendiri karena sudah ada pertanyaan yang disediakan dan waktu juga sehingga serasa sedang sesi speaking beneran.

Selama latihan untuk IELTS kedua ini, reading saya pernah mencapai skor 9 dan listening 8.5 tapi saya tidak boleh terlalu senang karena pada latihan untuk IELTS pertama saya paling tinggi 8 di listening dan 7 di reading tapi malah jauh drop pada hasil tes yang sebenarnya. Akhirnya dari situ saya hanya berani pasang target 7-7.5 untuk kedua elemen ini di IELTS kedua saya. Nggak muluk2 toh minimal 6.5 saja yang diperlukan. Saya pasang target tinggi di kedua elemen itu karena takut drop lagi di writing, jadi bisa didongkrak. Karena saya tidak bisa menilai latihan writing dan speaking saya sendiri, jadinya hanya bisa pasrah. Yang penting saya sudah maksimal dalam latihan.

Untuk pengalaman mengikuti IELTS kedua akan dilanjutkan di post berikutnya..

Road to UK; Pengalaman Mengikuti IELTS (part 1)

Sudah lama sekali rasanya nggak ngeblog. Walaupun sebenarnya kemarin buat blog untuk tugas kuliah aja tiba2 sekarang pengen nulis sesuatu lagi hahaha. Terakhir nulis itu tahun 2012 dan sekarang udah 2015. Berarti sudah 3 tahun vakum nulis.

Akhir2 ini saya sedang sibuk dengan visa UK (ribetnya ampun). Saya sudah diterima di salah satu universitas di Inggris dan akan mulai kuliah September nanti. Kalau dibandingkan, melengkapi berkas untuk masuk universitas JAUH lebih mudah daripada berkas untuk visa.

Di tulisan kali ini saya mau cerita pengalaman manis pahit untuk mendapatkan salah satu syarat masuk uni dan buat visa yaitu IELTS. Tes bahasa inggris yang satu ini dijadikan penilaian terhadap kemampuan bahasa inggris seseorang yang akan masuk ke UK. Kenapa saya mau cerita yang ini dulu dari pada dokumen lainnya? SAYA HARUS DUA KALI MENGIKUTI TES INI KARENA NILAI YANG TIDAK CUKUP, hikshikshiks.

Sebenarnya ini semua salah saya juga yang terlalu anggap remeh dan malas latihan. Mungkin tulisan ini akan saya bagi jadi 3 part saking panjangnya cerita untuk mencapai skor IELTS yang cukup.

Universitas tujuan saya mentargetkan skor overall 6.5 dan tidak boleh ada yang di bawah 6 pada setiap elemen. Nah, karena mau siap2 dan nggak mau tes berkali2 saya putuskan untuk ikut les saja. Saya les selama 3 bulan khusus untuk IELTS preparation dimulai April-Juli 2014. Selama les saya memang mendapatkan banyak tips dan trik untuk tes ini tapi kekurangan saya adalah tidak mau mengulang dan mempraktekkan atau melatih diri saya sendiri. Apa yang saya dapat selama les ya mentok itu saja jadi emang nggak berkembang.

Akhir April salah seorang teman saya mengajak untuk ikut simulasi. Saya langsung setuju, hitung2 untuk membiasakan diri dengan situasi tes dan soal2 nya. Saya hanya bayar 50ribu saja untuk sekali tes. Di hari H, sesampainya di tempat simulasi tes, saya dan kedua teman saya terkejut dengan peserta  lainnya. KAMI YANG PALING TUA, SELEBIHNYA CABE2AN. Umur waktu itu masih 21 dan rata2 peserta lain itu masih early teens. Heran juga kenapa mereka ikut tes kayak beginian, entah mau lanjut SMA di luar juga ga ngerti pokoknya kami merasa tua di antara mereka. Nggak lama rupanya ada seorang senior dan junior di kampus yang ikut juga. Jadilah kami berlima tua2 keladi (apa sih?)

Nah, tes dimulai dengan listening. Sumpah ini buat bingung. Kita diminta denger sambil ngisi. Bukan cuma titik2 doang tapi pilihan ganda, menjodohkan juga. Akhirnya saya banyak miss dan asal jawab. Next ada reading. Disini sih nggak banyak masalah, hanya saja saya muak dengan 3 passage dan 40 pertanyaan yang juga bukan cuma titik2 tapi juga pilihan ganda, menjodohkan header atau tema, summary, dan yang paling ngeselin true false notgiven. Bayangkan true false aja udah keteteran di IELTS malah ada not given. Mampus sudah.

Habis itu kami masuk writing. Disini ada 2 task. Task 1 biasanya kita dikasih diagram atau sejenisnya trus kita cuma diminta untuk describe. Task 2, si momok yang menyebalkan adalah essay dengan topik tertentu. Waktu itu saya dengan santainya cuma nulis tanpa ada sistematikanya, strukturnya, paragrafnya. Yang ada ada di otak saya waktu itu cuma tulis sesuai topik dan jangan sempat salah grammar dan lebih dari 250 kata. Udah, titik.

Pas speaking kita dapat jadwal karena memang di IELTS ini speaking itu kaya wawancara. Jadi kita komunikasi langsung dengan manusia. Bukan kayak TOEFL ibt dimana kita ngomong sama komputer haha. Waktu itu saya kebagian jadwal sama bule cowok masih muda kira2 masih early 20s juga. Dari tampangnya saya merasa dia kurang kredibel untuk jadi examiner IELTS hahahaha. Tapi ya namanya juga simulasi, yang penting bule dah. Cukup. Saya menjawab pertanyaan cukup lancar walaupun masih suka aaa uu eee karena nggak tahu apa bahasa inggris yang mau saya ucapkan. Jawaban saya waktu itu juga cenderung pendek dan nggak dijabarkan padahal itu sangat penting.

Nah, 13 hari kemudian saya dapat sertifikatnya dan mata saya hampir keluar melihat hasilnya. Saya cuma dapat overall 5 dengan rincian
Listening 5
Reading 6.5
Writing 2.5
Speaking 6.5

Betapa kecewanya saya pada saat itu khususnya writing. Dapat 2.5 itu rasanya tulisan saya tak berarti apa2 dan terkesan masih tulisan anak yang baru belajar bahasa inggris.

Setelah dapat hasil seperti itu, Reza Indah Pribadi emang jadi semangat menggebu untuk lanjutin les. Tapi ya emang cuma sebatas semangat aja. Nggak ada praktek nyata T.T
Sampai selesai di Juli, saya tetap tidak pernah mengulang pelajaran dan latihan sepulang les. Apa yang saya dapatkan selama satu setengah jam saat les itulah yang menjadi pegangan saya. Padahal saya punya banyak waktu luang. Maklum anak semester akhir dan saya cuma fokus di skripsi, nggak ada ngambil mata kuliah lain. Saya sangat malas sekali untuk belajar.

September saya wisuda dan saya sudah pesan untuk tes di bulan Oktober. Nah, disini saya 'agak' rajin. Saya punya buku IELTS Cambridge series1-10 dan sampai hari H saya hanya bahas 3 seri. Itupun untuk reading dan listening saja. Speaking sama sekali tidak ada latihan dan writing hanya menulis saat saya sedang mood. Jujur saya orang yang susah menjabarkan ide pikiran padahal itu salah satu penilaian di writing. Kalau misalkan pertanyaannya: HP adalah salah satu perangkat modern yang membuat komunikasi verbal manusia sekarang menjadi buruk, apakah Anda setuju atau tidak setuju dengan pernyataan ini? Seorang Reza hanya akan bisa jawab: setuju karena X, Y, Z. Padahal untuk essay sebenarnya kita dituntut untuk menjawab: setuju karena X; X1, X2, X3 Y; Y1, Y2, Y3 dst. Maksudnya, setiap alasan harus dipaparkan dengan terperinci agar terbentuk suatu paragraf dengan sebuah ide pokok yang dijabarkan oleh ide pendukung lainnya.

Pengalaman saya mengikuti IELTS perdana akan saya sambung di post selanjutnya.